Harian Kompas, 13 Januari 2011
Jakarta, Kompas - Pegawai negeri sipil diwajibkan melaporkan penghasilan sampingannya yang tidak bersumber dari dana APBN atau APBD, misalnya uang dari warung atau salon rumahan. Jika tidak, Direktorat Jenderal Pajak bisa melacak hasil sampingan yang tidak dilaporkan.
”Ini adalah aturan baru dalam perpajakan. Kalau ada istri PNS atau prajurit TNI membuka salon di rumah, sebaiknya penghasilan salon tersebut dilaporkan dalam SPT (surat pemberitahuan) pajak. Kalau punya kemampuan menyanyi dan ada penghasilan, itu pun dilaporkan,” tutur Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak M Iqbal Alamsjah di Jakarta, Rabu (12/1).
Atas dasar itu, menurut Iqbal, seluruh PNS, anggota TNI, Polri, dan pensiunan sebaiknya bersikap jujur melaporkan semua penghasilan tambahannya di luar gaji pokok, tunjangan, dan uang pensiunnya. Sebab, pada saatnya nanti, Ditjen Pajak akan mengetahui jumlah penghasilan yang sebenarnya, yakni dengan mendalami laporan perolehan harta kekayaan yang ada dalam SPT.
”Cara pengawasannya, kami akan melihat laporan perolehan harta kekayaan mereka pada SPT. Jika uangnya dialirkan untuk membeli rumah dan rumahnya disewakan, tentunya ada penghasilan sewa. Atau ada investasi di rumah indekos, tentunya ada penghasilan tetap setiap bulannya,” ujar Iqbal.
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 yang berlaku 1 Januari 2011. Peraturan ini menetapkan bahwa PNS golongan I dan II serta anggota TNI/Polri berpangkat tamtama dan bintara dikenai PPh sebesar nol persen atas imbalan tetap sejenisnya berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD.
PPh dikenakan sebesar 5 persen dari penghasilan bruto bagi PNS golongan III serta anggota TNI/Polri golongan pangkat perwira pertama dan pensiunannya. PPh dibebankan senilai 15 persen dari penghasilan bruto bagi PNS golongan IV, anggota TNI/Polri golongan pangkat perwira menengah dan perwira tinggi, dan pensiunannya.
Adapun bagi PNS, prajurit TNI/Polri, dan pensiunan yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) akan dikenai tarif PPh 20 persen lebih tinggi daripada tarif yang ditetapkan dalam PP Nomor 80/2010.
Kalangan PNS, prajurit TNI/ Polri dan pensiunan menanggapi kebijakan ini sebagai tidak kreatifnya pemerintah mencari-cari sumber pemasukan pajak. Pemerintah sebaiknya melakukan efisiensi anggaran.
Pengamat pajak Ruston Tambunan, yang dihubungi di Jakarta, Rabu (12/1), mengatakan, tetap sulit bagi Ditjen Pajak melacak penghasilan sampingan dari PNS apabila mereka tidak jujur melaporkan penghasilan sampingan itu dalam SPT. Kecuali penghasilan sampingan itu bersumber dari APBN/APBD, seperti honor pembicara dalam seminar karena langsung dipotong.
Tidak jadi pajak
Iqbal menegaskan, penghasilan tambahan yang biasanya bersumber dari APBN/APBD, antara lain honorarium sebagai pembicara dalam seminar atau mengajar dalam badan pendidikan dan pelatihan di lingkungan pemerintahan. PNS tidak perlu khawatir melaporkan penghasilan tambahannya karena belum tentu berakhir dengan utang pajak.
Hal itu karena setiap penghasilan yang diperoleh akan dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), yakni Rp 1,32 juta per bulan, atau Rp 15,8 juta per tahun. Jika penghasilan sampingan itu lebih kecil dari PTKP, yang bersangkutan tidak perlu membayar PPh.
”Sebagai warga negara yang baik, setiap PNS wajib memiliki NPWP dan mengisi SPT. Hanya itu. Tetapi, kan belum tentu membayar PPh, bisa saja nihil. Jadi, artinya tidak perlu terlalu riskan, sistem pajak kita menganut prinsip pay as you earn,” ujarnya.
No comments:
Post a Comment