Koran Jakarta, 17 Januari 2011
Penerapan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD) yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2011 menjadi persoalan baru bagi industri properti. UU yang disahkan DPR pada18 Agustus 2009 ini memberikan wewenang penuh kepada daerah untuk memungut dan menetapkan tarif pajak maupun retribusi tertentu. Kewenangan itu termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Realestat Indonesia (REI) Adri Istambul Lingga Gayo mengatakan saat ini hanya DKI Jakarta dan Surabaya yang sudah memiliki peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sedangkan daerah lain belum memiliki aturan jelas mengenai tarif dan prosedur pemungutan BPHTB dan PBB yang telah dilimpahkan pemerintah pusat sejak awal tahun lalu. Adri mempertanyakan rendahnya kesiapan daerah, sehingga membingungkan pengembang dan konsumen.
“Kalau belum ada perdanya, acuan pemungutan BPHTB yang dipakai apa? Kami mempertanyakan ketidaksiapan daerah,” ungkapnya, Jumat (14/1). Sebelumnya, Ketua Umum DPP REI Setyo Maharso mengungkapkan banyaknya daerah yang belum memiliki perda tentang pajak dan retribusi daerah sungguh menyulitkan. Tapi di satu sisi pengembang tetap harus memungut BPHTB dari konsumen yang membeli rumah agar tetap sesuai aturan main. Langkah itu diambil agar konsumen tidak makin bingung jika di kemudian hari dipungut BPHTB. “Kita pungut sesuai standar yang sudah ada. Itu agar tetap sesuai prosedur.
Yang penting konsumen sudah dikenakan BPHTB, sehingga nanti tidak perlu pusing lagi, daripada setelah dihuni justru didatangi untuk dipungut BPHTB-nya,” jelasnya. Ketua Kehormatan DPP REI Teguh Satria mengungkapkan sekarang banyak daerah menetapkan batas properti tidak terkena BPHTB begitu rendah, sehingga rumah sejahtera tapak yang notabene adalah rumah bersubsidi pun terkena BPHTB. Karena itu, dia meminta agar atasan rumah yang dikenakan BPHTB diseragamkan saja di seluruh Indonesia.
“Persoalan ini perlu menjadi perhatian pemerintah pusat, sehingga tidak membuat pengembang bingung. Daerah dengan kewenangan penuh kini bisa sesuka hati menetapkan aturan PBB dan BPHTB karena keduanya dianggap sebagai sumber pendapatan asli daerah,” paparnya, Jumat. Teguh juga mengingatkan selama ini di lapangan BPHTB dikenakan dua kali kepada pengembang, yakni pertama saat membebaskan tanah dan kedua ketika menjual tanah itu kepada konsumen berikut bangunan.
REI sudah berulang kali meminta agar BPHTB untuk proyek properti hanya dikenakan di ujung saja saat tanah dan bangunan dijual kepada konsumen. Dia meminta pemerintah memberikan perhatian terkait pemungutan pajak berlapis ini, sehingga industri properti dapat bergulir lebih cepat, mengingat ada ratusan usaha di sektor riil yang akan bergerak jika bisnis properti berkembang pesat. Di daerah, ketidakseragaman batas objek yang dikenakan BPHTB diakui Ketua DPD REI Sulawesi Selatan Jamaluddin Jafar.
Dia menjabarkan Makassar menerapkan batas harga sekitar 25 juta rupiah, di Maros sekitar 15 juta rupiah, sementara di Pangkep sekitar 10 juta rupiah. Batasan itu membebani pengembang rumah sejahtera tapak yang berdasarkan ketentuan pemerintah dapat dijual sekitar 55 juta rupiah. Jamal setuju jika acuan objek yang dikenakan BPHTB diseragamkan secara nasional dengan mempertimbangan harga jual maksimal rumah sejahtera tapak. “Kami minta BPHTB untuk rumah bersubsidi dibebaskan saja secara nasional.
Bila dikenakan BPHTB, maka biaya produksi rumah bersubsidi membengkak, sehingga harga jualnya dikhawatirkan melebihi ketentuan dan itu memberatkan konsumen,” kata Jamaluddin ketika dihubungi, Jumat. Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa menyatakan telah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri agar pemda memberikan keringanan untuk membebaskan rumah sejahtera tapak dari ketentuan BPHTB.
Dia juga mengimbau daerah agar membuat peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi sehingga dapat menjadi acuan bagi masyarakat dan pengembang. “Saya meminta semua daerah membuat peraturan daerah sehingga tidak timbul kesan pungutan itu dilakukan tanpa acuan jelas,” ungkapnya, Kamis (13/1). Wewenang Pemungutan Selain soal banyaknya daerah yang belum memiliki payung hukum pelimpahan wewenang pemungutan BPHTB dan PBB dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, juga menyisakan persoalan lain.
Besarnya wewenang menyebabkan tarif PBB setiap tahun terus merangkak naik. Kenaikan rutin itu menjadi masalah besar karena kenaikan bisa mencapai 2-3 kali lipat per tahun. Selain itu, tanah merupakan persediaan bahan baku (inventory) bagi perusahaan properti. Lebih-lebih banyak kasus penetapan nilai jual objek pajak (NJOP) sering tidak jelas. Setyo Maharso menyebutkan NJOP di satu daerah bisa naik secara berkala, tetapi di wilayah lain kenaikan dilakukan secara sporadis.
Akibatnya, NJOP tanah dan bangunan di wilayah tertentu bisa jauh lebih tinggi dibanding harga pasar atau sebaliknya. Pemerintah seharusnya menetapkan acuan harga tanah di jalan besar lebih mahal daripada tanah yang dekat jalan kecil. Tapi ini tidak, pemerintah daerah menetapkan harga itu secara pukul rata. “Seharusnya tanah yang menjadi bahan baku pengembang diberlakukan NJOP yang berbeda.
Tanah di bagian depan yang dekat jalan besar wajar lebih mahal, namun jangan disamakan dengan tanah di bagian tengah dan belakang. Demikian juga BPHTB-nya, seharusnya berbeda,” tandasnya. REI, ungkap Maharso, akan memperjuangkan agar persoalan pajak dan retribusi daerah yang menganjal industri properti itu dapat dituntaskan, sehingga industri properti yang tengah menuju booming dapat lebih optimal menggerakkan perekonomian nasional.
Dia menjelaskan pajak dan bea adalah masalah yang kerap memusingkan pengembang selain perizinan. Pengembang dibebani pajak sejak proses pembebasan lahan sampai penjualan. Karena itu, tak jarang, harga rumah cukup tinggi karena besarnya beban pajak yang ditanggung pengembang.
No comments:
Post a Comment