Harian Kompas, 15 Maret 2011
Dalam sebulan terakhir, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah memvonis empat pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang diputus bersalah melakukan korupsi, yakni mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Bahasyim Assifie, mantan Kepala Seksi Pengurangan dan Keberatan Ditjen Pajak Maruli Pandapotan Manurung, penelaah keberatan Humala Leonardo Napitupulu, serta pelaksana keberatan Gayus Halomoan Tambunan.
Bahasyim divonis 10 tahun penjara, Maruli 2,5 tahun, Humala 2 tahun, dan Gayus 7 tahun penjara.
Vonis terhadap empat pegawai pajak tersebut tentu harus menjadi pelajaran bagi pegawai pajak lain untuk bertindak tepat, hati-hati, cermat, jujur, dan menyeluruh dalam menangani urusan perpajakan. Bagaimanapun, penerimaan pajak tergolong rendah, sekitar Rp 850 triliun atau 12 persen dari produk domestik bruto, tetapi merupakan pendapatan utama, sekitar 77 persen dari APBN. Apalagi, negeri ini masih memerlukan dana yang besar untuk pembangunan sehingga jumlah pengangguran dan kemiskinan dapat dikurangi secara signifikan.
Proses peradilan terhadap empat abdi negara tersebut tercatat menghasilkan sejumlah langkah terobosan yang diharapkan bisa menjadi tonggak penegakan hukum ke depan.
Maruli, Humala, dan Gayus dipidana korupsi atas perkara yang sama, yakni saat menangani keberatan pajak yang diajukan PT Surya Alam Tunggal (SAT) pada tahun 2007. Hal menarik dari perkara ini adalah ketiganya divonis bersalah karena dinilai tidak tepat, cermat, dan menyeluruh dalam memeriksa dan meneliti dokumen sehingga memutuskan menerima keberatan pajak PT SAT. Majelis hakim menilai keberatan pajak PT SAT seharusnya ditolak karena sudah sesuai ketentuan. Hakim menilai, akibat ketidakcermatan dan ketidaktelitian tersebut, negara merugi Rp 570,9 juta dan sebaliknya PT SAT diuntungkan senilai nominal tersebut.
Dalam persidangan, tidak ditemukan fakta bahwa Maruli, Humala, dan Gayus menerima hadiah atau janji atau suap dalam bentuk apa pun.
Artinya, kesalahan ketiga pegawai negeri tersebut tergolong kesalahan administratif, tetapi berdampak pada meruginya negara dan diuntungkannya pihak lain, dalam hal ini PT SAT. Oleh karena itu, menurut hakim, kesalahan ini tetap layak dipidanakan karena memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun, menurut Maruli, Humala, dan Gayus, persoalan ini seharusnya tak dapat dipidanakan karena berada di wilayah administratif. Bahkan, kesalahan administratif itu pun, menurut Maruli, masih diperdebatkan karena semata merupakan perbedaan persepsi dalam membaca ketentuan umum perpajakan.
Yang pasti, keputusan hakim telah menyadarkan pegawai pajak bahwa pekerjaan mereka sangat sensitif karena menyangkut uang negara yang akan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, jangankan memeras, menerima suap atau melakukan jenis korupsi lainnya secara sengaja, melakukan kesalahan administratif sekalipun, pegawai pajak bisa dipidana mengingat hal tersebut merugikan negara.
Pada persidangan Bahasyim, majelis hakim juga membuat terobosan, yakni menerapkan asas pembuktian terbalik untuk membuktikan apakah harta Bahasyim senilai Rp 61 miliar berasal dari hasil korupsi atau bukan. Dengan asas pembuktian terbalik, Bahasyim akhirnya terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang.
Disebut terobosan karena, menurut pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji, asas pembuktian terbalik hingga kini belum lazim digunakan dalam peradilan kasus-kasus korupsi meskipun penerapan asas itu sudah diatur dalam dua UU sekaligus, yakni UU No 20/2001 tentang Tipikor dan UU No 15/2002 tentang Pencucian Uang.
Pembuktian terbalik diperlukan karena Bahasyim didakwa melakukan pencucian uang kekayaannya senilai Rp 61 miliar. Selain itu, kekayaan sebesar itu tidak sesuai dengan profil pendapatan Bahasyim sebagai pegawai negeri dengan gaji sekitar Rp 30 juta per bulan.
Penerapan asas tersebut oleh majelis hakim yang diketuai Didik Setyo Handono terbukti efektif. Bahasyim tak mampu meyakinkan bahwa hartanya bukan berasal dari hasil korupsi. Bahasyim berdalih kekayaannya merupakan akumulasi keuntungan berbagai bisnis yang dijalaninya sejak tahun 1972. Bisnis-bisnis tersebut antara lain cuci cetak foto, jual beli tanah dan mobil, serta penyertaan modal pada sejumlah perusahaan. Namun, Bahasyim tak mampu menunjukkan dokumen-dokumen terkait usahanya tersebut. Dalam persidangan, Bahasyim mencoba menunjukkan dokumen mengenai kerja sama bisnis hiburan, restoran, dan kosmetik di Filipina dan China.
Namun, dokumen itu diragukan hakim karena hanya menjelaskan bahwa Bahasyim pernah memiliki usaha di sana. Itu pun ditandatangani setelah perkaranya disidangkan. Bahasyim tidak bisa menunjukkan dokumen kontrak kerja sama, dokumen penyertaan modal, dan bukti serah terima keuntungan dari bisnis-bisnisnya tersebut.
Hakim makin yakin kekayaan Bahasyim berasal dari hasil korupsi karena Bahasyim tak pernah melaporkannya dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Harta kekayaan yang dilaporkan Bahasyim hanya sekitar Rp 10,12 miliar. Selain itu, Bahasyim pun terbukti menerima suap Rp 1 miliar dari wajib pajak.
Jadi, para koruptor, berhati-hatilah karena kini hakim sudah tak segan-segan lagi menggunakan asas pembuktian terbalik. Apalagi Wakil Presiden Boediono pun mendorong pemakaian asas pembuktian terbalik untuk memberantas korupsi.
No comments:
Post a Comment