Tuesday, 1 March 2011

Menjadi Wakil Rakyat

Koran Jakarta, 28 Februari 2011
Akhirnya hak angket pajak benar-benar ditolak oleh DPR melalui mekanisme pemungutan suara. Terlepas dari persoalan apakah seharusnya hak angket itu ditolak atau diterima dan manakah sesungguhnya yang mendekati kebenaran, kenyataan itu semakin meneguhkan anggapan bahwa wakilwakil rakyat di Senayan lebih banyak bermain untuk mengamankan kepentingan kelompok dan golongannya ketimbang berpikir tentang pemenuhan aspirasi rakyat. Karena fakta semacam inilah, maka sangat mudah dipahami jika rakyat perlahan-lahan mulai putus asa untuk menggantungkan aspirasinya kepada para wakil rakyat itu.

Secara umum, salah satu efek demokratisasi di Indonesia adalah runtuhnya mitos hubungan antara rakyat, kalangan eksekutif, dan legislatif. Keruntuhan mitos itu ditandai dengan semakin terbukanya ruang bagi masyarakat untuk melakukan kritik terhadap proses penyelenggaraan negara, baik melalui aksi-aksi unjuk rasa, forum-forum ilmiah, maupun berbagai bentuk tulisan di media massa dan buku. Dalam kerangka demitologi hubungan itu pula, maka informasi-informasi sensitif dan bahkan yang cenderung rahasia dengan mudah diketahui oleh masyarakat.

Demikian pula dengan informasi berkaitan dengan sepak terjang wakil rakyat di berbagai tingkatan. Perilaku wakil rakyat yang terlalu menonjolkan kepentingan kelompok dan terlampau beriorientasi pada pemenuhan aspek-aspek material menjadi pemandangan yang begitu mudah dijumpai dalam alam politik Indonesia pascareformasi, misalnya wakil rakyat yang terjebak ke dalam perangkap komodifi kasi jabatan politik sehingga kepentingan rakyat menjadi sesuatu yang terbaikan.

Harus secara jujur diakui bahwa dalam iklim demokrasi baru Indonesia yang tengah mencari bentuk, percampuran antara logika demokrasi dan pasar menjadi sangat sulit dielakkan, misalnya pada masa-masa menjelang pemilu, atas nama demokrasi caloncalon wakil rakyat berlomba mengemas pemasaran diri dalam berbagai sarana. Di sinilah awal mula terjadinya komodifi kasi jabatan politik itu. Persoalan pemasaran diri adalah persoalan modal dan lazim belaka bahwa semakin kuat modal yang dimiliki seorang calon anggota wakil rakyat, maka akan semakin menarik proses-proses pemasaran diri yang mereka lakukan.

Akibatnya, perebutan kursi wakil rakyat lebih merupakan pertaruhan untung-rugi yang lebih banyak dimotivasi oleh faktor-faktor ekonomi ketimbang kesadaran untuk membangun masyarakat dan terlebih cita-cita pemihakan kepada kepentingan kemasyarakatan. Akibatnya, menjadi tidak mengherankan ketika posisi itu akhirnya diraih, maka targettarget material menjadi tujuan utama dan bukan memikirkan kepentingan rakyat.

Maka akan sangat luar biasa jika ada di antara anggota-anggota parlemen itu yang secara sadar melihat posisinya sebagai kesempatan untuk memulai menancapkan tonggak kemakmuran bagi masyarakat dan benar-benar mewakili rakyat. Jika itu terjadi, tidak hanya akan mengembalikan tingkat kepercayaan rakyat kepada parlemen yang secara drastis menurun akibat sepak terjang mereka sendiri, tetapi juga akan menjadi tamparan serius bagi mereka-mereka yang meniatkan jabatan wakil rakyat itu untuk semata-mata pemenuhan hajat hidup pribadi dan kelompok.

Tak bisa dimungkiri, sering kali terjadi bahwa mereka yang turut berkompetisi dalam perebutan kursi anggota parlemen ini menganggap posisi wakil rakyat adalah sebagai pekerjaan. Maka wajar belaka ketika logika yang digunakan dalam menjalankan tugas adalah logika pekerja pada umumnya dan bukan logika sebagai kelompok yang sesungguhnya memiliki tanggung jawab besar dalam mengawal perubahan bangsa ini, utamanya perubahan nasib rakyat.

Akibat dominannya pola pikir seperti ini, maka wakil rakyat yang masih memiliki idealisme pun sering kali menyimpan keraguan bahwa mereka bisa memainkan peran penting dalam mengawal perubahan itu, misalnya seorang mantan aktivis prodemokrasi yang saat ini tengah menjadi anggota parlemen, meragukan apakah sebagai seorang mantan aktivis prodemokrasi yang telah lama berjuang dalam penegakan demokrasi ia mampu mengubah nasib para petani yang diwakilinya?

Pada dasarnya, keraguan seperti itu bukan tak beralasan karena ketika arus utama di kalangan wakil rakyat adalah kelompok yang tidak berparadigma kerakyatan, maka seorang aktivis idealis menjadi tidak ada artinya. Saya secara pribadi sama sekali tidak meragukan komitmen demokrasi dan perjuangan kepentingan rakyat kalangan anggota parlemen yang berlatar belakang aktivis. Tetapi selama ini belum ada cukup bukti yang bisa meyakinkan kita bahwa para aktivis atau mantan aktivis ini menjadi lokomotif perubahan sistem dan mental politik yang korup dan minus pemihakan kepada rakyat itu.

Karena itu, kita juga menunggu apakah kalangan anggota wakil rakyat yang berlatar belakang aktivis itu akan tetap idealis sebagaimana ketika mereka masih berada di luar jalur kekuasaan. Dalam praktiknya, tidak sedikit aktivis yang pada mulanya kritis kemudian justru terbawa arus atas apa-apa yang justru selama ini dikritiknya. Kita semua berharap agar kehadiran para aktivis ke dalam kancah politik Indonesia ini benar-benar membawa perubahan dan perbaikan bangsa.

Terlebih lagi, jika para aktivis ini tidak ikut terwarnai oleh iklim politik yang tidak sehat dan sebaliknya justru menjadi warna yang pelan-pelan menggeser warna kelam buku politik bangsa ini. Tidak banyak anggota parlemen yang secara tegas memiliki kesadaran bahwa mereka adalah wakil rakyat. Karena meskipun bernama wakil rakyat, hubungan antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakili hanya terjadi pada saat-saat kampanye penghimpunan dukungan.

Selebihnya, wakil rakyat dan konstituen ibarat dua dunia yang berlawanan, yang satu sama lain tidak saling kenal dan keduanya seolah berada pada aras dunia yang berbeda dimensi. Rakyat tidak lebih hanyalah sebagai legitimasi atas berbagai kepentingan sekelompok kecil anggota parlemen. Dalam kondisi seperti ini, jika ada pengakuan yang secara tegas dinyatakan dalam forum terbuka, yang dari situ kemudian muncul kesadaran bahwa para anggota parlemen adalah wakil rakyat, maka itu akan menjadi katalisator yang mempercepat proses demitologisasi hubungan wakil rakyat dan konstituten dari hubungan yang elitis kepada pola hubungan yang populis.

Meskipun demikian, pengakuan dan kesadaran saja tidak cukup. Kita semua menunggu anggota parlemen yang sadar bahwa mereka mewakili rakyat. Tidak hanya sadar, tetapi juga berusaha melakukan transformasi kesadaran itu menjadi pemihakan kepada rakyat sehingga rakyat tidak hanya disapa oleh para wakilnya itu lima tahun sekali, tetapi mereka adalah wakil rakyat dalam arti yang sebenar-benarnya. Wakil rakyat yang sadar dan berbuat sesuatu dengan kesadarannya itu demi kepentingan rakyat.

No comments:

Post a Comment