Koran Jakarta, 24 Maret 2011
LONDON – Gara-gara resesi ekonomi Inggris yang semakin menggila, membuat pemerintah Inggris segera merevisi pertumbuhan ekonomi pada 2011. Mereka pun akhirnya menetapkan bahwa pertumbuhan ekonomi di tahun ini sebesar 1,7 persen dari target semula yang direncanakan sebesar 2,1 persen. Sedangkan untuk 2012 pertumbuhan ekonomi dipatok 2,5 persen. Sebelumnya, penetapan revisi pertumbuhan ekonomi Inggris mengalami sedikit perbedaan dengan jajak pendapat yang dilakukan sejumlah kalangan ekonom yang dikumpulkan oleh Reuters.
Mereka memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi itu hanya mencapai 1,6 persen di 2011. Sedangkan pada 2012 angka pertumbuhan dipatok sebesar 2,2 persen. “Dengan perubahan target tersebut, diperkirakan inflasi di Inggris maksimal akan menembus 5 persen tahun ini. Sedangkan di 2012, infl asi kemungkinan bertambah sebesar 2,5 persen. Sementara bankbank di Inggris hanya menargetkan pertambahan infl asi sebesar 2 persen,” kata Menteri Keuangan Inggris George Osborne, Rabu (23/3), di London.
Sebelumnya, Osborne juga sudah merevisi laporan anggaran tahunan dan menyerahkannya kepada parlemen Inggris untuk dibahas pada hari ini. Dalam laporan tersebut Osborne berjanji akan memulihkan resesi Inggris melalui rencana pemotongan pajak. Terkait dengan hal itu, sejumlah analis berharap laporan anggaran tersebut mampu mendorong pertumbuhan Inggris di tengah resesi yang menghimpit.
Untuk itu, mereka yakin bahwa laporan itu sudah disusun dengan pertimbangan yang matang agar tidak menimbulkan ketegangan dan membuat Inggris kembali terpuruk. “Pemerintah menjanjikan ‘pro-pertumbuhan’ anggaran, seperti mencantumkan ukuran pajak kecil,” kata analis Ekonomi Kapital, Jonathan Loynes, di London. Asal tahu saja, pajak gaji pegawai di Inggris berkisar 600 poundsterling atau sekitar 692 Euro, sepadan dengan 980 dollar AS. Setidaknya terdapat sekitar 250 ribu wajib pajak yang menyetorkan pendapatan mereka, demikian dalam keterangan yang diterima pers.
Meski demikian, Osborne malah menaikkan pajak penghasilan warga Inggris sejak awal tahun lalu menjadi sebesar 20 persen yang semula besaran pajak hanya 17,5 persen. Akan Konsisten Para ekonom sepakat, Osborne akan konsisten pada rencana pemotongan pajak tersebut. “Ada sedikit ruang bagi perwakilan (konselor) untuk mengalah pada potongan anggaran belanja negara,” kata Daiwa, Ekonom Hetal Mehta kepada AFP. “Saya tidak yakin mereka dapat menyimpang karena banyaknya prosedur yang musti dilalui,” sambungnya lagi.
Saat pemilihan umum tahun lalu, Osborne mengumumkan rencana untuk memangkas pengeluaran hingga miliaran pondsterling demi menutup defi sit anggaran. Hal itu pun lantas memicu resesi di negeri itu. Konsulat Inggris kembali mengingatkan bahwa target pinjaman pada 2011 yang sudah ditetapkan adalah sebesar 148,5 miliar poundsterling atau setara dengan 243 miliar dollar AS. Meski demikian, sampai dengan Februari lalu pinjaman di sektor publik sudah menyentuh angka 11,8 miliar poundsterling di Februari. Akibatnya, sektor publik mengalami defi sit anggaran.
Asal tahu saja, inflasi Inggris sepanjang bulan Februari menembus 4,4 persen dari inflasi bulan Januari yang hanya mencapai 4 persen. Padahal sebelumnya kalangan ekonomi memperkirakan inflasi Inggris hanya mencapai 4,2 persen. Tentunya, kenaikan inflasi itu cukup pesat sejak intervensi Bank Sentral Inggris dalam menaikkan suku bunga bank pada beberapa pekan terakhir ini. Kenaikan infl asi sebesar 0,4 persen itu merupakan kenaikan infl asi tertinggi sejak Oktober 2008.
Friday, 25 March 2011
Wednesday, 23 March 2011
74 perusahaan wajib pajak yang diperiksa Gayus sudah bisa melenggang
Kontanonline.com, 23 Maret 2011
JAKARTA. Setelah sekian lama melakukan pemeriksaan terhadap kasus-kasus pajak Gayus Tambunan, akhirnya tim gabungan memutuskan untuk mengembalikan 74 berkas wajib pajak dari 151 perusahaan yang diperiksa kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.
Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Kombes Boy Rafli Amar menyatakan, berkas para wajib pajak itu dikembalikan karena tak ditemukan dugaan awal unsur pidana dan korupsi. Dengan demikian, pemeriksaan terhadap 74 wajib pajak tersebut telah selesai. "Adapun 77 perusahaan lainnya, pemeriksaannya masih terus berjalan," kata Boy, kemarin (22/3).
Walaupun demikian, bukan berarti 74 wajib pajak itu bisa menarik nafas lega. Pasalnya, tim gabungan menemukan beberapa perusahaan itu terindikasi melakukan pelanggaran perpajakan. Cuma, Boy tak mengungkapkan, berapa wajib pajak yang terindikasi melakukan pelanggaran. "Tim sudah meminta Ditjen Pajak untuk melakukan langkah-langkah pendalaman terhadap sejumlah perkara perpajakan mereka tersebut," katanya.
Jika dalam proses pendalaman oleh Ditjen Pajak ditemukan ada tindak pidana, bukan tidak mungkin berkasnya ditangani kembali oleh tim ini. "Misalnya, jika penyidik menemukan suap yang dilakukan wajib pajak, tim akan meminta kembali berkas tersebut," katanya.
Cuma, sejauh ini, indikasi pelanggaran yang ditemukan terhadap 74 wajib pajak itu adalah pelanggaran perpajakan. Termasuk dalam berkas yang dikembalikan itu, berkas 19 perusahaan yang ditangani Gayus yang sempat menjadi fokus tim gabungan.
Sebelumnya, dari 151 perusahaan, tim menemukan ada 44 perusahaan yang sempat ditangani Gayus semasa bertugas sebagai Tenaga Penelaah Keberatan dan Banding di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Dari 44 wajib pajak, ada 19 perusahaan yang sempat menjadi fokus. Tim menemukan 35 perkara keberatan dan banding dari 19 perusahaan itu. Dari 19 perusahaan itu, ada lima perusahaan yang diduga melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya.
Boy mengungkapkan, tim sudah memeriksa saksi kunci perkara lima perusahaan itu. Saksi ini, lanjut Boy berpotensi menjadi tersangka. "Ini masih didalami," pungkasnya.
Tim gabungan sendiri melibatkan Direktorat Keberatan dan Banding, Direktorat Pemeriksaan, dan Direktorat Kepatuhan Internal dan Sumber Daya Aparatur Ditjen Pajak, Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, Biro Hukum Kementerian Keuangan, serta Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri.
Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Vincentius Sonny Loho mengungkapkan, tim memeriksa proses keberatan dan banding dari perusahaan tersebut apakah sudah sesuai dengan prosedur. Kalau ternyata tim menemukan ada prosedur yang tidak sesuai, tim akan memeriksa kewajiban pajak perusahaan yang bersangkutan.
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany menjamin, pemeriksaan tidak akan melanggar ketentuan kerahasiaan wajib pajak seperti pada Undang-Undang Pajak.
JAKARTA. Setelah sekian lama melakukan pemeriksaan terhadap kasus-kasus pajak Gayus Tambunan, akhirnya tim gabungan memutuskan untuk mengembalikan 74 berkas wajib pajak dari 151 perusahaan yang diperiksa kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.
Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Kombes Boy Rafli Amar menyatakan, berkas para wajib pajak itu dikembalikan karena tak ditemukan dugaan awal unsur pidana dan korupsi. Dengan demikian, pemeriksaan terhadap 74 wajib pajak tersebut telah selesai. "Adapun 77 perusahaan lainnya, pemeriksaannya masih terus berjalan," kata Boy, kemarin (22/3).
Walaupun demikian, bukan berarti 74 wajib pajak itu bisa menarik nafas lega. Pasalnya, tim gabungan menemukan beberapa perusahaan itu terindikasi melakukan pelanggaran perpajakan. Cuma, Boy tak mengungkapkan, berapa wajib pajak yang terindikasi melakukan pelanggaran. "Tim sudah meminta Ditjen Pajak untuk melakukan langkah-langkah pendalaman terhadap sejumlah perkara perpajakan mereka tersebut," katanya.
Jika dalam proses pendalaman oleh Ditjen Pajak ditemukan ada tindak pidana, bukan tidak mungkin berkasnya ditangani kembali oleh tim ini. "Misalnya, jika penyidik menemukan suap yang dilakukan wajib pajak, tim akan meminta kembali berkas tersebut," katanya.
Cuma, sejauh ini, indikasi pelanggaran yang ditemukan terhadap 74 wajib pajak itu adalah pelanggaran perpajakan. Termasuk dalam berkas yang dikembalikan itu, berkas 19 perusahaan yang ditangani Gayus yang sempat menjadi fokus tim gabungan.
Sebelumnya, dari 151 perusahaan, tim menemukan ada 44 perusahaan yang sempat ditangani Gayus semasa bertugas sebagai Tenaga Penelaah Keberatan dan Banding di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Dari 44 wajib pajak, ada 19 perusahaan yang sempat menjadi fokus. Tim menemukan 35 perkara keberatan dan banding dari 19 perusahaan itu. Dari 19 perusahaan itu, ada lima perusahaan yang diduga melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya.
Boy mengungkapkan, tim sudah memeriksa saksi kunci perkara lima perusahaan itu. Saksi ini, lanjut Boy berpotensi menjadi tersangka. "Ini masih didalami," pungkasnya.
Tim gabungan sendiri melibatkan Direktorat Keberatan dan Banding, Direktorat Pemeriksaan, dan Direktorat Kepatuhan Internal dan Sumber Daya Aparatur Ditjen Pajak, Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, Biro Hukum Kementerian Keuangan, serta Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri.
Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Vincentius Sonny Loho mengungkapkan, tim memeriksa proses keberatan dan banding dari perusahaan tersebut apakah sudah sesuai dengan prosedur. Kalau ternyata tim menemukan ada prosedur yang tidak sesuai, tim akan memeriksa kewajiban pajak perusahaan yang bersangkutan.
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany menjamin, pemeriksaan tidak akan melanggar ketentuan kerahasiaan wajib pajak seperti pada Undang-Undang Pajak.
Monday, 21 March 2011
Bangga Bayar Pajak
Koran Jakarta, 21 Maret 2011
Judul di atas tampaknya kedengaran aneh tatkala diketahui tidak satu pun orang senang bayar pajak. Mengapa? Sejarah peradaban bangsa mengukir jelas, tidak ada satu pun orang senang atau bangga membayar pajak, namun harus dilakukan. Kita tidak pernah mendengar ungkapan yang berkata, “saya bangga membayar pajak”. Orang yang mengatakan demikian, tetap saja dirasa janggal kedengarannya. Kebanggaan membayar pajak atau memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib pajak), masih jauh di bawah kebanggaan ketika seseorang punya banyak kartu kredit dan jenis kartu belanja lainnya.
Ketika di dalam saku atau dompet terdapat banyak jenis kartu kredit, secara sadar rasa bangga pasti muncul. Namun, ketika ada kartu NPWP dalam saku, serasa ada beban yang muncul. Inilah persoalan yang perlu dikaji, mengapa sampai seseorang belum bangga bayar pajak. Momentum bangga membayar pajak sudah saatnya dimulai dan terus diingatkan. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ketua Lembaga Tinggi dan para Menteri menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang dilakukan di Kantor Pusat Ditjen Pajak, tanggal 18 Maret 2011, penulis menilai acara tersebut menjadi momentum penting mengingatkan semua orang untuk bangga bayar pajak.
Setiap kali acara rutin penyampaian SPT dilakukan Presiden SBY dan para Menteri, saat itu pula memberikan ingatan terus bangga bayar pajak. Sejatinya, kebanggaan bayar pajak harus mengalahkan kebanggaaan lainnya, termasuk mengalahkan kebanggaan memiliki kartu-kartu jenis lainnya. Satu hal yang menarik dalam acara tersebut adalah diangkatnya tema yang menekankan pentingnya “Peran Ibu dan Anak dalam Meningkatkan Kesadaran Membayar Pajak”. Jika dikaji, tema tersebut tampak linier dengan judul tulisan ini, dengan beberapa penjelasan.
Pertama, sifat bangga tidak akan mungkin tertanam dalam diri seseorang, jika keluarga (ibu dan anak) tidak ikut merasakannya. Dengan kata lain, ayah yang bangga bayar pajak, adalah kebanggaan bagi keluarga yang di dalamnya terdapat ibu dan anak. Kedua, ibu sebagai pengatur keuangan keluarga patut diberi apresiasi ketika mendukung ayah untuk terus bayar pajak. Dan ketiga, kebanggaan suatu keluarga membayar pajak adalah kebanggaan suatu bangsa. Oleh karena suatu bangsa tidak akan terbentuk tanpa ada suatu keluarga.
Di sisi lain, kebanggaan keluarga adalah kebanggaan anak juga. Dilibatkannya anak-anak melihat prosesi penyampaian SPT oleh Presiden, menunjukkan sifat kebanggaan lain yang melihat masa depan bangsa. Masa depan bangsa ada di tangan anak. Anak yang sejak dini memahami pentingnya pajak, pada akhirnya menjadi kebanggaan bagi kebesaran suatu bangsa. Tema penyampaian SPT Tahunan oleh Presiden seperti uraian di atas, menjadi harapan lebih cepat terwujudnya keadilan dan kesejahteraan yang bisa diraih. Ibu dan anak menjadi pemicu mempercepat kondisi lebih baik tersebut.
Ini yang perlu didukung semua pihak. Bicara ibu dan anak sebenarnya bicara satu kesatuan yang dinamakan keluarga. Bicara keluarga adalah juga bicara bangsa yang terdiri dari keluarga. Budaya Indonesia menganut satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu keluarga. Undang-undang perpajakan pun sudah menegaskan bahwa sistem pengenaan pajak menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis.
Artinya, penghasilan atau kerugian seluruh anggota keluarga digunakan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga (Penjelasan Pasal 8 UU No 7 Tahun 1983 yang diubah dengan UU No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan). Jadi, keluarga sudah menjadi tujuan awal yang diinginkan pembuat undangundang. Filosofi menekankan prinsip keluarga membayar pajak sudah sangat tepat. Tidak akan mungkin suatu bangsa berpikir, tanpa suatu keluarga berpikir. Keluarga menjadi cerminan suatu bangsa.
Menghitung penghasilan keluarga bukan hanya menghitung penghasilan seorang Ayah atau kepala keluarga. Menghitung penghasilan keluarga harus juga menghitung penghasilan ibu dan juga penghasilan anak. Penghasilan keluarga adalah gunggungan (gabungan) penghasilan yang juga diterima atau diperoleh ibu dan anak. Bila seorang anak di bawah umur sudah memiliki penghasilan, misalnya karena si anak punya keahlian tertentu, atas penghasilannya harus digunggungkan dengan penghasilan Ayahnya.
Begitu pun ibu yang punya penghasilan, misalnya dari penghasilan salon atau usaha jasa tata boga (catering), atas penghasilan tersebut harus digabung dengan penghasilan Ayah. Namun dalam hal-hal tertentu (Pasal 8 ayat 2 UU Pajak Penghasilan), penghasilan ayah dan ibu bisa dikenai secara terpisah apabila : Pertama, ayah (suami) dan ibu (istri) hidup berpisah berdasarkan putusan hakim; kedua, dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau ketiga, dikehendaki oleh ibu yang memilih menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
Dari ketentuan tersebut, UU Pajak Penghasilan secara tegas menempatkan prinsip hukum keluarga berdiri pada posisi paling tinggi. Namun tetap diberikan kemungkinan pengecualian berdasarkan UU PPh itu sendiri. Ayah sebagai kepala keluarga hanyalah tempat atau sarana menyatukan proses penghitungan pajak yang diterima suatu keluarga. Sarana penghitungan melalui Ayah, bisa saja digantikan dengan peran ibu kalau memang ibu menjadi kepala keluarga dalam suatu keluarga.
Prinsip undang-undang pajak yang menempatkan kepala keluarga melakukan pemenuhan pajak, sudah tepat. Kalau begitu, dengan melibatkan peran ibu dan anak dalam proses penyampaian SPT Tahunan PPh, harus ditegaskan sekali lagi bahwa bangga bayar pajak bukanlah suara asing atau aneh. Bangga bayar pajak adalah cerminan suara undang-undang pajak yang menjadi kesepakatan kita bersama.
Judul di atas tampaknya kedengaran aneh tatkala diketahui tidak satu pun orang senang bayar pajak. Mengapa? Sejarah peradaban bangsa mengukir jelas, tidak ada satu pun orang senang atau bangga membayar pajak, namun harus dilakukan. Kita tidak pernah mendengar ungkapan yang berkata, “saya bangga membayar pajak”. Orang yang mengatakan demikian, tetap saja dirasa janggal kedengarannya. Kebanggaan membayar pajak atau memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib pajak), masih jauh di bawah kebanggaan ketika seseorang punya banyak kartu kredit dan jenis kartu belanja lainnya.
Ketika di dalam saku atau dompet terdapat banyak jenis kartu kredit, secara sadar rasa bangga pasti muncul. Namun, ketika ada kartu NPWP dalam saku, serasa ada beban yang muncul. Inilah persoalan yang perlu dikaji, mengapa sampai seseorang belum bangga bayar pajak. Momentum bangga membayar pajak sudah saatnya dimulai dan terus diingatkan. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ketua Lembaga Tinggi dan para Menteri menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang dilakukan di Kantor Pusat Ditjen Pajak, tanggal 18 Maret 2011, penulis menilai acara tersebut menjadi momentum penting mengingatkan semua orang untuk bangga bayar pajak.
Setiap kali acara rutin penyampaian SPT dilakukan Presiden SBY dan para Menteri, saat itu pula memberikan ingatan terus bangga bayar pajak. Sejatinya, kebanggaan bayar pajak harus mengalahkan kebanggaaan lainnya, termasuk mengalahkan kebanggaan memiliki kartu-kartu jenis lainnya. Satu hal yang menarik dalam acara tersebut adalah diangkatnya tema yang menekankan pentingnya “Peran Ibu dan Anak dalam Meningkatkan Kesadaran Membayar Pajak”. Jika dikaji, tema tersebut tampak linier dengan judul tulisan ini, dengan beberapa penjelasan.
Pertama, sifat bangga tidak akan mungkin tertanam dalam diri seseorang, jika keluarga (ibu dan anak) tidak ikut merasakannya. Dengan kata lain, ayah yang bangga bayar pajak, adalah kebanggaan bagi keluarga yang di dalamnya terdapat ibu dan anak. Kedua, ibu sebagai pengatur keuangan keluarga patut diberi apresiasi ketika mendukung ayah untuk terus bayar pajak. Dan ketiga, kebanggaan suatu keluarga membayar pajak adalah kebanggaan suatu bangsa. Oleh karena suatu bangsa tidak akan terbentuk tanpa ada suatu keluarga.
Di sisi lain, kebanggaan keluarga adalah kebanggaan anak juga. Dilibatkannya anak-anak melihat prosesi penyampaian SPT oleh Presiden, menunjukkan sifat kebanggaan lain yang melihat masa depan bangsa. Masa depan bangsa ada di tangan anak. Anak yang sejak dini memahami pentingnya pajak, pada akhirnya menjadi kebanggaan bagi kebesaran suatu bangsa. Tema penyampaian SPT Tahunan oleh Presiden seperti uraian di atas, menjadi harapan lebih cepat terwujudnya keadilan dan kesejahteraan yang bisa diraih. Ibu dan anak menjadi pemicu mempercepat kondisi lebih baik tersebut.
Ini yang perlu didukung semua pihak. Bicara ibu dan anak sebenarnya bicara satu kesatuan yang dinamakan keluarga. Bicara keluarga adalah juga bicara bangsa yang terdiri dari keluarga. Budaya Indonesia menganut satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu keluarga. Undang-undang perpajakan pun sudah menegaskan bahwa sistem pengenaan pajak menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis.
Artinya, penghasilan atau kerugian seluruh anggota keluarga digunakan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga (Penjelasan Pasal 8 UU No 7 Tahun 1983 yang diubah dengan UU No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan). Jadi, keluarga sudah menjadi tujuan awal yang diinginkan pembuat undangundang. Filosofi menekankan prinsip keluarga membayar pajak sudah sangat tepat. Tidak akan mungkin suatu bangsa berpikir, tanpa suatu keluarga berpikir. Keluarga menjadi cerminan suatu bangsa.
Menghitung penghasilan keluarga bukan hanya menghitung penghasilan seorang Ayah atau kepala keluarga. Menghitung penghasilan keluarga harus juga menghitung penghasilan ibu dan juga penghasilan anak. Penghasilan keluarga adalah gunggungan (gabungan) penghasilan yang juga diterima atau diperoleh ibu dan anak. Bila seorang anak di bawah umur sudah memiliki penghasilan, misalnya karena si anak punya keahlian tertentu, atas penghasilannya harus digunggungkan dengan penghasilan Ayahnya.
Begitu pun ibu yang punya penghasilan, misalnya dari penghasilan salon atau usaha jasa tata boga (catering), atas penghasilan tersebut harus digabung dengan penghasilan Ayah. Namun dalam hal-hal tertentu (Pasal 8 ayat 2 UU Pajak Penghasilan), penghasilan ayah dan ibu bisa dikenai secara terpisah apabila : Pertama, ayah (suami) dan ibu (istri) hidup berpisah berdasarkan putusan hakim; kedua, dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau ketiga, dikehendaki oleh ibu yang memilih menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
Dari ketentuan tersebut, UU Pajak Penghasilan secara tegas menempatkan prinsip hukum keluarga berdiri pada posisi paling tinggi. Namun tetap diberikan kemungkinan pengecualian berdasarkan UU PPh itu sendiri. Ayah sebagai kepala keluarga hanyalah tempat atau sarana menyatukan proses penghitungan pajak yang diterima suatu keluarga. Sarana penghitungan melalui Ayah, bisa saja digantikan dengan peran ibu kalau memang ibu menjadi kepala keluarga dalam suatu keluarga.
Prinsip undang-undang pajak yang menempatkan kepala keluarga melakukan pemenuhan pajak, sudah tepat. Kalau begitu, dengan melibatkan peran ibu dan anak dalam proses penyampaian SPT Tahunan PPh, harus ditegaskan sekali lagi bahwa bangga bayar pajak bukanlah suara asing atau aneh. Bangga bayar pajak adalah cerminan suara undang-undang pajak yang menjadi kesepakatan kita bersama.
Saturday, 19 March 2011
Pengemplang Pajak Dikejar
Harian Seputar Indonesia, 18 Maret 2011
JAKARTA– Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan menyisir pengusaha-pengusaha pengemplang pajak atau yang menerbitkan faktur pajak fiktif.
Sanksi tegas akan diberlakukan kepada para penerbit faktur pajak bermasalah tersebut. “Memang dalam penyisiran kami menemukan beberapa yang menerbitkan faktur pajak bermasalah,tapi tidak bisa disebutkan satu per satu. Namun, kami tentu akan melakukan tindakan tegas,” ungkap Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jakarta Utara Agus Wuryantoro di Jakarta kemarin.
Masih banyaknya kasus pengemplang pajak mendorong Ditjen Pajak di setiap wilayah untuk terus mengingatkan masyarakat agar jujur dalam membayar pajak sesuai kewajibannya ataupun dalam menyampaikan surat pemberitahuan (SPT). Dia mengakui, persoalan terkait penyelewengan pajak tidak hanya terjadi di internal Ditjen Pajak, tapi juga masih ditemukan kasus penyelewengan pajak yang dilakukan pengusaha.
“Akan kami ungkap satu per satu supaya masyarakat sadar bahwa kasus seperti itu, adanya tax gap atau kekurangan pembayaran pajak, merugikan negara.Padahal kalau penerimaan negara lebih baik itu kanbisa membantu pengentasan kemiskinan, serta menyejahterakan bangsa dan masyarakat,” tandasnya. Agus mengungkapkan, nilai tax gap yang ditemukan cukup besar.Nilai itu seharusnya bisa menyumbang penerimaan negara lebih maksimal.
Namun, dia tidak memaparkan besaran penghitungan nilai tax gap yang dimaksud. Pengemplang pajak yang merugikan keuangan negara jelas melanggar pidana. “Kalau menerbitkan faktur pajak bermasalah, tentu akan kami tindak dan bawa pengadilan,” ucapnya. Dia mencontohkan, salah satu tindakan tegas yang sudah ditindaklanjuti terkait pengemplang pajak melibatkan PT Sinar Terang Sentosa Jaya (STSJ).
Dia mengatakan,pihak STSJ dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara lantaran terbukti melakukan penipuan faktur pajak yang merugikan negara sekitar Rp2,2 miliar. Dari hasil Penyidikan tindak pidana pajak yang dilakukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Utara, pengusaha Subandi Budiman alias Aban, salah satu Direktur PT STSJ, dijatuhi vonis dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara atas penerbitan faktur pajak fiktif.
“Untuk disebut faktur pajak yang tidak bermasalah, seharusnya faktur pajak menyertai transaksi penjualan. Perusahaan pabrikasi yang menjual barang ke perusahaan pembeli barang produksi tadi seharusnya membayarkan uang penjualan kepada pihak yang menjual, diikuti pihak penjual dengan adanya penerbitan faktur pajak,” papar Kabid Pemeriksaan, Penagihan, dan Penyidikan Pajak Kanwil Pajak Jakarta Utara Edward Sianipar di tempat yang sama.
Masih banyaknya ditemukan kasus penyelewengan pajak yang merugikan negara diakui menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Dia berjanji mengusut wajib pajak lain jika diindikasikan melakukan tindak pidana penyelewengan pajak
JAKARTA– Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan menyisir pengusaha-pengusaha pengemplang pajak atau yang menerbitkan faktur pajak fiktif.
Sanksi tegas akan diberlakukan kepada para penerbit faktur pajak bermasalah tersebut. “Memang dalam penyisiran kami menemukan beberapa yang menerbitkan faktur pajak bermasalah,tapi tidak bisa disebutkan satu per satu. Namun, kami tentu akan melakukan tindakan tegas,” ungkap Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jakarta Utara Agus Wuryantoro di Jakarta kemarin.
Masih banyaknya kasus pengemplang pajak mendorong Ditjen Pajak di setiap wilayah untuk terus mengingatkan masyarakat agar jujur dalam membayar pajak sesuai kewajibannya ataupun dalam menyampaikan surat pemberitahuan (SPT). Dia mengakui, persoalan terkait penyelewengan pajak tidak hanya terjadi di internal Ditjen Pajak, tapi juga masih ditemukan kasus penyelewengan pajak yang dilakukan pengusaha.
“Akan kami ungkap satu per satu supaya masyarakat sadar bahwa kasus seperti itu, adanya tax gap atau kekurangan pembayaran pajak, merugikan negara.Padahal kalau penerimaan negara lebih baik itu kanbisa membantu pengentasan kemiskinan, serta menyejahterakan bangsa dan masyarakat,” tandasnya. Agus mengungkapkan, nilai tax gap yang ditemukan cukup besar.Nilai itu seharusnya bisa menyumbang penerimaan negara lebih maksimal.
Namun, dia tidak memaparkan besaran penghitungan nilai tax gap yang dimaksud. Pengemplang pajak yang merugikan keuangan negara jelas melanggar pidana. “Kalau menerbitkan faktur pajak bermasalah, tentu akan kami tindak dan bawa pengadilan,” ucapnya. Dia mencontohkan, salah satu tindakan tegas yang sudah ditindaklanjuti terkait pengemplang pajak melibatkan PT Sinar Terang Sentosa Jaya (STSJ).
Dia mengatakan,pihak STSJ dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara lantaran terbukti melakukan penipuan faktur pajak yang merugikan negara sekitar Rp2,2 miliar. Dari hasil Penyidikan tindak pidana pajak yang dilakukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Utara, pengusaha Subandi Budiman alias Aban, salah satu Direktur PT STSJ, dijatuhi vonis dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara atas penerbitan faktur pajak fiktif.
“Untuk disebut faktur pajak yang tidak bermasalah, seharusnya faktur pajak menyertai transaksi penjualan. Perusahaan pabrikasi yang menjual barang ke perusahaan pembeli barang produksi tadi seharusnya membayarkan uang penjualan kepada pihak yang menjual, diikuti pihak penjual dengan adanya penerbitan faktur pajak,” papar Kabid Pemeriksaan, Penagihan, dan Penyidikan Pajak Kanwil Pajak Jakarta Utara Edward Sianipar di tempat yang sama.
Masih banyaknya ditemukan kasus penyelewengan pajak yang merugikan negara diakui menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Dia berjanji mengusut wajib pajak lain jika diindikasikan melakukan tindak pidana penyelewengan pajak
Wednesday, 16 March 2011
Pegawai Pajak dan Pembuktian Terbalik
Harian Kompas, 15 Maret 2011
Dalam sebulan terakhir, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah memvonis empat pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang diputus bersalah melakukan korupsi, yakni mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Bahasyim Assifie, mantan Kepala Seksi Pengurangan dan Keberatan Ditjen Pajak Maruli Pandapotan Manurung, penelaah keberatan Humala Leonardo Napitupulu, serta pelaksana keberatan Gayus Halomoan Tambunan.
Bahasyim divonis 10 tahun penjara, Maruli 2,5 tahun, Humala 2 tahun, dan Gayus 7 tahun penjara.
Vonis terhadap empat pegawai pajak tersebut tentu harus menjadi pelajaran bagi pegawai pajak lain untuk bertindak tepat, hati-hati, cermat, jujur, dan menyeluruh dalam menangani urusan perpajakan. Bagaimanapun, penerimaan pajak tergolong rendah, sekitar Rp 850 triliun atau 12 persen dari produk domestik bruto, tetapi merupakan pendapatan utama, sekitar 77 persen dari APBN. Apalagi, negeri ini masih memerlukan dana yang besar untuk pembangunan sehingga jumlah pengangguran dan kemiskinan dapat dikurangi secara signifikan.
Proses peradilan terhadap empat abdi negara tersebut tercatat menghasilkan sejumlah langkah terobosan yang diharapkan bisa menjadi tonggak penegakan hukum ke depan.
Maruli, Humala, dan Gayus dipidana korupsi atas perkara yang sama, yakni saat menangani keberatan pajak yang diajukan PT Surya Alam Tunggal (SAT) pada tahun 2007. Hal menarik dari perkara ini adalah ketiganya divonis bersalah karena dinilai tidak tepat, cermat, dan menyeluruh dalam memeriksa dan meneliti dokumen sehingga memutuskan menerima keberatan pajak PT SAT. Majelis hakim menilai keberatan pajak PT SAT seharusnya ditolak karena sudah sesuai ketentuan. Hakim menilai, akibat ketidakcermatan dan ketidaktelitian tersebut, negara merugi Rp 570,9 juta dan sebaliknya PT SAT diuntungkan senilai nominal tersebut.
Dalam persidangan, tidak ditemukan fakta bahwa Maruli, Humala, dan Gayus menerima hadiah atau janji atau suap dalam bentuk apa pun.
Artinya, kesalahan ketiga pegawai negeri tersebut tergolong kesalahan administratif, tetapi berdampak pada meruginya negara dan diuntungkannya pihak lain, dalam hal ini PT SAT. Oleh karena itu, menurut hakim, kesalahan ini tetap layak dipidanakan karena memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun, menurut Maruli, Humala, dan Gayus, persoalan ini seharusnya tak dapat dipidanakan karena berada di wilayah administratif. Bahkan, kesalahan administratif itu pun, menurut Maruli, masih diperdebatkan karena semata merupakan perbedaan persepsi dalam membaca ketentuan umum perpajakan.
Yang pasti, keputusan hakim telah menyadarkan pegawai pajak bahwa pekerjaan mereka sangat sensitif karena menyangkut uang negara yang akan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, jangankan memeras, menerima suap atau melakukan jenis korupsi lainnya secara sengaja, melakukan kesalahan administratif sekalipun, pegawai pajak bisa dipidana mengingat hal tersebut merugikan negara.
Pada persidangan Bahasyim, majelis hakim juga membuat terobosan, yakni menerapkan asas pembuktian terbalik untuk membuktikan apakah harta Bahasyim senilai Rp 61 miliar berasal dari hasil korupsi atau bukan. Dengan asas pembuktian terbalik, Bahasyim akhirnya terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang.
Disebut terobosan karena, menurut pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji, asas pembuktian terbalik hingga kini belum lazim digunakan dalam peradilan kasus-kasus korupsi meskipun penerapan asas itu sudah diatur dalam dua UU sekaligus, yakni UU No 20/2001 tentang Tipikor dan UU No 15/2002 tentang Pencucian Uang.
Pembuktian terbalik diperlukan karena Bahasyim didakwa melakukan pencucian uang kekayaannya senilai Rp 61 miliar. Selain itu, kekayaan sebesar itu tidak sesuai dengan profil pendapatan Bahasyim sebagai pegawai negeri dengan gaji sekitar Rp 30 juta per bulan.
Penerapan asas tersebut oleh majelis hakim yang diketuai Didik Setyo Handono terbukti efektif. Bahasyim tak mampu meyakinkan bahwa hartanya bukan berasal dari hasil korupsi. Bahasyim berdalih kekayaannya merupakan akumulasi keuntungan berbagai bisnis yang dijalaninya sejak tahun 1972. Bisnis-bisnis tersebut antara lain cuci cetak foto, jual beli tanah dan mobil, serta penyertaan modal pada sejumlah perusahaan. Namun, Bahasyim tak mampu menunjukkan dokumen-dokumen terkait usahanya tersebut. Dalam persidangan, Bahasyim mencoba menunjukkan dokumen mengenai kerja sama bisnis hiburan, restoran, dan kosmetik di Filipina dan China.
Namun, dokumen itu diragukan hakim karena hanya menjelaskan bahwa Bahasyim pernah memiliki usaha di sana. Itu pun ditandatangani setelah perkaranya disidangkan. Bahasyim tidak bisa menunjukkan dokumen kontrak kerja sama, dokumen penyertaan modal, dan bukti serah terima keuntungan dari bisnis-bisnisnya tersebut.
Hakim makin yakin kekayaan Bahasyim berasal dari hasil korupsi karena Bahasyim tak pernah melaporkannya dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Harta kekayaan yang dilaporkan Bahasyim hanya sekitar Rp 10,12 miliar. Selain itu, Bahasyim pun terbukti menerima suap Rp 1 miliar dari wajib pajak.
Jadi, para koruptor, berhati-hatilah karena kini hakim sudah tak segan-segan lagi menggunakan asas pembuktian terbalik. Apalagi Wakil Presiden Boediono pun mendorong pemakaian asas pembuktian terbalik untuk memberantas korupsi.
Dalam sebulan terakhir, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah memvonis empat pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang diputus bersalah melakukan korupsi, yakni mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Bahasyim Assifie, mantan Kepala Seksi Pengurangan dan Keberatan Ditjen Pajak Maruli Pandapotan Manurung, penelaah keberatan Humala Leonardo Napitupulu, serta pelaksana keberatan Gayus Halomoan Tambunan.
Bahasyim divonis 10 tahun penjara, Maruli 2,5 tahun, Humala 2 tahun, dan Gayus 7 tahun penjara.
Vonis terhadap empat pegawai pajak tersebut tentu harus menjadi pelajaran bagi pegawai pajak lain untuk bertindak tepat, hati-hati, cermat, jujur, dan menyeluruh dalam menangani urusan perpajakan. Bagaimanapun, penerimaan pajak tergolong rendah, sekitar Rp 850 triliun atau 12 persen dari produk domestik bruto, tetapi merupakan pendapatan utama, sekitar 77 persen dari APBN. Apalagi, negeri ini masih memerlukan dana yang besar untuk pembangunan sehingga jumlah pengangguran dan kemiskinan dapat dikurangi secara signifikan.
Proses peradilan terhadap empat abdi negara tersebut tercatat menghasilkan sejumlah langkah terobosan yang diharapkan bisa menjadi tonggak penegakan hukum ke depan.
Maruli, Humala, dan Gayus dipidana korupsi atas perkara yang sama, yakni saat menangani keberatan pajak yang diajukan PT Surya Alam Tunggal (SAT) pada tahun 2007. Hal menarik dari perkara ini adalah ketiganya divonis bersalah karena dinilai tidak tepat, cermat, dan menyeluruh dalam memeriksa dan meneliti dokumen sehingga memutuskan menerima keberatan pajak PT SAT. Majelis hakim menilai keberatan pajak PT SAT seharusnya ditolak karena sudah sesuai ketentuan. Hakim menilai, akibat ketidakcermatan dan ketidaktelitian tersebut, negara merugi Rp 570,9 juta dan sebaliknya PT SAT diuntungkan senilai nominal tersebut.
Dalam persidangan, tidak ditemukan fakta bahwa Maruli, Humala, dan Gayus menerima hadiah atau janji atau suap dalam bentuk apa pun.
Artinya, kesalahan ketiga pegawai negeri tersebut tergolong kesalahan administratif, tetapi berdampak pada meruginya negara dan diuntungkannya pihak lain, dalam hal ini PT SAT. Oleh karena itu, menurut hakim, kesalahan ini tetap layak dipidanakan karena memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun, menurut Maruli, Humala, dan Gayus, persoalan ini seharusnya tak dapat dipidanakan karena berada di wilayah administratif. Bahkan, kesalahan administratif itu pun, menurut Maruli, masih diperdebatkan karena semata merupakan perbedaan persepsi dalam membaca ketentuan umum perpajakan.
Yang pasti, keputusan hakim telah menyadarkan pegawai pajak bahwa pekerjaan mereka sangat sensitif karena menyangkut uang negara yang akan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, jangankan memeras, menerima suap atau melakukan jenis korupsi lainnya secara sengaja, melakukan kesalahan administratif sekalipun, pegawai pajak bisa dipidana mengingat hal tersebut merugikan negara.
Pada persidangan Bahasyim, majelis hakim juga membuat terobosan, yakni menerapkan asas pembuktian terbalik untuk membuktikan apakah harta Bahasyim senilai Rp 61 miliar berasal dari hasil korupsi atau bukan. Dengan asas pembuktian terbalik, Bahasyim akhirnya terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang.
Disebut terobosan karena, menurut pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji, asas pembuktian terbalik hingga kini belum lazim digunakan dalam peradilan kasus-kasus korupsi meskipun penerapan asas itu sudah diatur dalam dua UU sekaligus, yakni UU No 20/2001 tentang Tipikor dan UU No 15/2002 tentang Pencucian Uang.
Pembuktian terbalik diperlukan karena Bahasyim didakwa melakukan pencucian uang kekayaannya senilai Rp 61 miliar. Selain itu, kekayaan sebesar itu tidak sesuai dengan profil pendapatan Bahasyim sebagai pegawai negeri dengan gaji sekitar Rp 30 juta per bulan.
Penerapan asas tersebut oleh majelis hakim yang diketuai Didik Setyo Handono terbukti efektif. Bahasyim tak mampu meyakinkan bahwa hartanya bukan berasal dari hasil korupsi. Bahasyim berdalih kekayaannya merupakan akumulasi keuntungan berbagai bisnis yang dijalaninya sejak tahun 1972. Bisnis-bisnis tersebut antara lain cuci cetak foto, jual beli tanah dan mobil, serta penyertaan modal pada sejumlah perusahaan. Namun, Bahasyim tak mampu menunjukkan dokumen-dokumen terkait usahanya tersebut. Dalam persidangan, Bahasyim mencoba menunjukkan dokumen mengenai kerja sama bisnis hiburan, restoran, dan kosmetik di Filipina dan China.
Namun, dokumen itu diragukan hakim karena hanya menjelaskan bahwa Bahasyim pernah memiliki usaha di sana. Itu pun ditandatangani setelah perkaranya disidangkan. Bahasyim tidak bisa menunjukkan dokumen kontrak kerja sama, dokumen penyertaan modal, dan bukti serah terima keuntungan dari bisnis-bisnisnya tersebut.
Hakim makin yakin kekayaan Bahasyim berasal dari hasil korupsi karena Bahasyim tak pernah melaporkannya dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Harta kekayaan yang dilaporkan Bahasyim hanya sekitar Rp 10,12 miliar. Selain itu, Bahasyim pun terbukti menerima suap Rp 1 miliar dari wajib pajak.
Jadi, para koruptor, berhati-hatilah karena kini hakim sudah tak segan-segan lagi menggunakan asas pembuktian terbalik. Apalagi Wakil Presiden Boediono pun mendorong pemakaian asas pembuktian terbalik untuk memberantas korupsi.
Monday, 14 March 2011
Aturan Pembebasan Pajak Siap Tahun Ini
Harian Kompas, 12 Maret 2011
Nusa Dua, Kompas - Pemerintah memastikan segera memberikan insentif pajak berupa pembebasan pajak kepada industri tertentu. Keputusan Menteri Keuangan untuk mengatur keringanan pajak bagi industri sedang dalam tahap finalisasi, yang akan selesai tahun ini.
Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Himawan Hariyoga menyampaikan hal itu dalam jumpa pers konferensi Coping with Asia’s Large Capital Inflows in a Multispeed Global Economy di Nusa Dua, Bali, Jumat (11/3).
Dalam perbaikan sistem insentif untuk investasi, kata Himawan, pemerintah merencanakan pembebasan pajak. Hal ini merupakan salah satu cara menciptakan iklim investasi jangka panjang di Indonesia.
Payung hukum untuk pembebasan pajak sudah ada, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak.
Langkah lain berupa memperbaiki fasilitas investasi, antara lain memperkuat kapasitas dan pelayanan terpadu satu pintu. ”Saat ini ada 33 tempat pelayanan satu pintu di tiap provinsi, sedangkan diusahakan membangun di 497 kabupaten/kota,” kata Himawan.
Sementara itu, di Jakarta pemerintah berupaya menertibkan lalu lintas barang dan jasa dari dan ke kawasan perdagangan bebas (FTZ) agar tidak ada potensi perpajakan yang hilang. Penertiban ini dilakukan dengan pengkajian ulang Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2009 tentang perlakuan kepabeanan, perpajakan, dan cukai di FTZ.
”Tidak ada perubahan konsepsi perpajakan dalam mengkaji ulang peraturan pemerintah itu. Namun, akan ada pengaturan tentang perpajakan atas barang dan jasa yang berasal dari dan ke Tempat Lain di Dalam Daerah Pabean (TLDDP). Lalu dua sektor yang akan dikaji perpajakannya, yakni sektor telekomunikasi dan penerbangan,” ujar Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak Suryo Utomo.
Revisi atas Peraturan Pemerintah Nomor 2 juga akan mengatur tentang aturan batas waktu pengiriman barang dari kawasan perdagangan bebas itu.
Nusa Dua, Kompas - Pemerintah memastikan segera memberikan insentif pajak berupa pembebasan pajak kepada industri tertentu. Keputusan Menteri Keuangan untuk mengatur keringanan pajak bagi industri sedang dalam tahap finalisasi, yang akan selesai tahun ini.
Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Himawan Hariyoga menyampaikan hal itu dalam jumpa pers konferensi Coping with Asia’s Large Capital Inflows in a Multispeed Global Economy di Nusa Dua, Bali, Jumat (11/3).
Dalam perbaikan sistem insentif untuk investasi, kata Himawan, pemerintah merencanakan pembebasan pajak. Hal ini merupakan salah satu cara menciptakan iklim investasi jangka panjang di Indonesia.
Payung hukum untuk pembebasan pajak sudah ada, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak.
Langkah lain berupa memperbaiki fasilitas investasi, antara lain memperkuat kapasitas dan pelayanan terpadu satu pintu. ”Saat ini ada 33 tempat pelayanan satu pintu di tiap provinsi, sedangkan diusahakan membangun di 497 kabupaten/kota,” kata Himawan.
Sementara itu, di Jakarta pemerintah berupaya menertibkan lalu lintas barang dan jasa dari dan ke kawasan perdagangan bebas (FTZ) agar tidak ada potensi perpajakan yang hilang. Penertiban ini dilakukan dengan pengkajian ulang Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2009 tentang perlakuan kepabeanan, perpajakan, dan cukai di FTZ.
”Tidak ada perubahan konsepsi perpajakan dalam mengkaji ulang peraturan pemerintah itu. Namun, akan ada pengaturan tentang perpajakan atas barang dan jasa yang berasal dari dan ke Tempat Lain di Dalam Daerah Pabean (TLDDP). Lalu dua sektor yang akan dikaji perpajakannya, yakni sektor telekomunikasi dan penerbangan,” ujar Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak Suryo Utomo.
Revisi atas Peraturan Pemerintah Nomor 2 juga akan mengatur tentang aturan batas waktu pengiriman barang dari kawasan perdagangan bebas itu.
Friday, 11 March 2011
Mafia Pajak Sikat Uang Rakyat Rp400 Triliun per Tahun
mediaindonesia.com, 10 Maret 2011
JAKARTA--MICOM: Anggota Badan Anggaran DPR RI, Bambang Soesatyo mengungkapkan, berdasarkan analisis berbagai kalangan, pihaknya memperkirakan pencurian pajak oleh kelompok mafia mendekati jumlah Rp300 hingga Rp400 triliun per tahun.
"Usul penggunaan hak angket mafia pajak DPR RI sesungguhnya untuk menyelidik dan memerangi `mafia pajak`," katanya di Jakarta, Kamis (10/3).
Wakil Bendahara Umum DPP Partai Golkar ini menambahkan, selain menyelidik, penggunaan hak angket DPR RI itu sebenarnya juga bertujuan menimbulkan efek jera bagi pelaku penggelapan pajak, baik terhadap wajib pajak (WP) maupun pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan.
"Sekarang, kalau memang proses hukum biasa diyakini dapat menimbulkan efek jera bagi para mafia pajak, efek jera itu harus dibuktikan dengan dua indikator yang muncul akibat dua aksi konkret," ujarnya.
Pertama, menurutnya, pendapatan negara dari pajak untuk 2011 harus memenuhi target APBN atau APBN-P 2011.
Kedua, peningkatan kontribusi pajak bagi APBN tahun mendatang harus jauh lebih besar dari 2011 atau 2010.
JAKARTA--MICOM: Anggota Badan Anggaran DPR RI, Bambang Soesatyo mengungkapkan, berdasarkan analisis berbagai kalangan, pihaknya memperkirakan pencurian pajak oleh kelompok mafia mendekati jumlah Rp300 hingga Rp400 triliun per tahun.
"Usul penggunaan hak angket mafia pajak DPR RI sesungguhnya untuk menyelidik dan memerangi `mafia pajak`," katanya di Jakarta, Kamis (10/3).
Wakil Bendahara Umum DPP Partai Golkar ini menambahkan, selain menyelidik, penggunaan hak angket DPR RI itu sebenarnya juga bertujuan menimbulkan efek jera bagi pelaku penggelapan pajak, baik terhadap wajib pajak (WP) maupun pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan.
"Sekarang, kalau memang proses hukum biasa diyakini dapat menimbulkan efek jera bagi para mafia pajak, efek jera itu harus dibuktikan dengan dua indikator yang muncul akibat dua aksi konkret," ujarnya.
Pertama, menurutnya, pendapatan negara dari pajak untuk 2011 harus memenuhi target APBN atau APBN-P 2011.
Kedua, peningkatan kontribusi pajak bagi APBN tahun mendatang harus jauh lebih besar dari 2011 atau 2010.
Wednesday, 9 March 2011
Dirjen Jamin Setoran Pajak Tak Bocor Lagi
Koran Jakarta, 9 Maret 2011
JAKARTA – Dirjen Pajak Fuad Rahmany menjamin tidak akan ada kebocoran lagi dari semua setoran wajib pajak karena secara otomatis langsung masuk ke kas negara melalui sistem perbankan. Jaminan itu seiring dengan serangkaian perbaikan sistem di tubuh Ditjen Pajak. “Itu kita harus yakinkan pada masyarakat. Begitu Anda bayar pajak, mengikuti sistem yang ada pakai surat setoran pajak (SSP) atau menggunakan automated teller machine/ATM) untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), uang itu tidak bocor lagi,” kata Fuad seusai sosialisasi pengisian Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPT) di Jakarta, Selasa (8/3).
Fuad mengatakan bukti kalau pajak tidak bocor terlihat pada 2010 lalu, jumlah setoran pajak hampir mencapai 606 triliun rupiah dan semuanya digunakan untuk belanja negara. “Kita menghargai masyarakat yang menyerahkan SPT dan bayar pajak meski dengan segala macam ada kasus-kasus pajak, ada mafi a pajak. Tentunya kita akan memperbaiki diri, sistem perpajakan diperbaiki terus, dan kita tingkatkan akuntabilitasnya dan juga pertanggungjawaban pada masyarakat,” katanya.
Pada 2011 rencana penerimaan pajak seperti yang diproyeksikan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 708,9 triliun rupiah atau 64,15 persen dari total penerimaan negara. Dia berjanji terus melakukan reformasi sistem pemungutan perpajakan yang selaras dengan dinamika perekonomian dan dunia usaha agar terwujud sistem perpajakan yang adil. Upaya reformasi itu, antara lain modernisasi administrasi, reformasi kebijakan, ekstensifi kasi, serta intensifi kasi pajak.
Untuk sosialisasi pengisian SPT sendiri melibatkan 400 wajib pajak orang pribadi dari berbagai profesi. “Februari sudah saatnya menyerahkan SPT tahunan. Kita terhubung dengan 3 wilayah: Kanwil Bali, Papua, dan Sumut,” katanya. Papua, katanya, diberi perlakukan khusus dalam menyampaikan SPT karena lokasinya jauh dan sulit dijangkau. Kejar Aset Salah satu upaya meningkatkan penerimaan pajak seperti dikatakan Direktur Perpajakan II Ditjen Pajak, Syarifuddin Alsjah, yakni bertukar informasi soal pajak dengan 8 wilayah yurisdiksi yang membebaskan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh).
Tujuannya untuk mengejar pengusaha Indonesia yang menyimpan aset di wilayah tersebut. “Untuk negara-negara lain yang belum exchange information, kita sedang upayakan yang dulunya tax haven itu 8 yurisdiksi,” kata Syarifuddin. Delapan kawasan tersebut adalah Jersey, Isle of Man, Guernsey, Cayman Island, Bahamas, Costa Rica, Bermuda, dan San Marino.
JAKARTA – Dirjen Pajak Fuad Rahmany menjamin tidak akan ada kebocoran lagi dari semua setoran wajib pajak karena secara otomatis langsung masuk ke kas negara melalui sistem perbankan. Jaminan itu seiring dengan serangkaian perbaikan sistem di tubuh Ditjen Pajak. “Itu kita harus yakinkan pada masyarakat. Begitu Anda bayar pajak, mengikuti sistem yang ada pakai surat setoran pajak (SSP) atau menggunakan automated teller machine/ATM) untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), uang itu tidak bocor lagi,” kata Fuad seusai sosialisasi pengisian Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPT) di Jakarta, Selasa (8/3).
Fuad mengatakan bukti kalau pajak tidak bocor terlihat pada 2010 lalu, jumlah setoran pajak hampir mencapai 606 triliun rupiah dan semuanya digunakan untuk belanja negara. “Kita menghargai masyarakat yang menyerahkan SPT dan bayar pajak meski dengan segala macam ada kasus-kasus pajak, ada mafi a pajak. Tentunya kita akan memperbaiki diri, sistem perpajakan diperbaiki terus, dan kita tingkatkan akuntabilitasnya dan juga pertanggungjawaban pada masyarakat,” katanya.
Pada 2011 rencana penerimaan pajak seperti yang diproyeksikan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 708,9 triliun rupiah atau 64,15 persen dari total penerimaan negara. Dia berjanji terus melakukan reformasi sistem pemungutan perpajakan yang selaras dengan dinamika perekonomian dan dunia usaha agar terwujud sistem perpajakan yang adil. Upaya reformasi itu, antara lain modernisasi administrasi, reformasi kebijakan, ekstensifi kasi, serta intensifi kasi pajak.
Untuk sosialisasi pengisian SPT sendiri melibatkan 400 wajib pajak orang pribadi dari berbagai profesi. “Februari sudah saatnya menyerahkan SPT tahunan. Kita terhubung dengan 3 wilayah: Kanwil Bali, Papua, dan Sumut,” katanya. Papua, katanya, diberi perlakukan khusus dalam menyampaikan SPT karena lokasinya jauh dan sulit dijangkau. Kejar Aset Salah satu upaya meningkatkan penerimaan pajak seperti dikatakan Direktur Perpajakan II Ditjen Pajak, Syarifuddin Alsjah, yakni bertukar informasi soal pajak dengan 8 wilayah yurisdiksi yang membebaskan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh).
Tujuannya untuk mengejar pengusaha Indonesia yang menyimpan aset di wilayah tersebut. “Untuk negara-negara lain yang belum exchange information, kita sedang upayakan yang dulunya tax haven itu 8 yurisdiksi,” kata Syarifuddin. Delapan kawasan tersebut adalah Jersey, Isle of Man, Guernsey, Cayman Island, Bahamas, Costa Rica, Bermuda, dan San Marino.
Penerimaan pajak naik 18% pada Februari 2011
Kontanonline.com, 9 Maret 2011
JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berhasil mengumpulkan perolehan pajak senilai Rp 81,64 triliun selama Februari 2011, naik 18,16% dari Februari tahun lalu. Jumlah ini mencapai 11,5% dari target penerimaan APBN 2011 yang sebesar Rp 708,9 triliun.
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmani mengatakan, penerimaan pajak selama bulan kemarin lebih banyak didorong setoran dari PPh dan PPN PPnBM. " untuk Pph non migas tercatat sebesar Rp 47,20 triliun, sedangkan Ppn dan PPnBM berjumlah Rp 33, 644 triliun,” ujar Fuad, Selasa, (8/3).
Sementara, untuk penerimaan pajak migas sebesar Rp 4, 311 triliun. "Jumlah yang diterima saat ini merupakan siklus tahunan dan hasilnya memang selalu begitu tapi tentunya PPh orang pribadi masih kecil,” tuturnya.
Fuad mengaku, kecilnya sumbangan dari setoran pajak perorangan lebih dikarenakan saat ini masih dalam masa penyampaian SPT tahunan PPh orang pribadi yang berakhir pada 31 Maret. Sekarang, PPh orang pribadi di Indonesia persentasenya masih rendah dibandingkan negara lain karena masih banyak yang belum menyerahkan.
"Ini mestinya menjadi isu nasional bahwa PPh orang pribadi di Indonesia masih kurang, Karena kita bangsa Indonesia sekarang ini kalo kita lihat tax ratio masih 12% ," imbuhnya.
Adapun, penerimaan Pajak hingga 7 Maret 2011 senilai Rp 94, 134 triliun, atau mencapai 12,03% dari target APBN.
Fuad memaparkan, untuk meningkatkan kontribusi setoran pajak orang pribadi perlu adanya dukungan dari berbagai pihak, baik wajib pajak sendiri maupun aparat penegak hukum. Dia menambahkan, akan terus mengejar sektor-sektor yang saat ini belum tersentuh pajak (undertax).
Selain itu dia menegaskan, akan bekerja keras untuk bisa mencapai target yang telah tertuang dalam APBN. Fuad menjamin jika uang pajak yang telah dibayarkan wajib pajak tidak akan dikorupsi oleh oknum pegawai pajak nakal seperti yang ditakutkan kebanyakan wajib pajak selama ini. "Sistemnya sudah cukup baik dan itu nggak mungkin bocor lagi. Uang pajak itu langsung di bayar ke bank," tandasnya.
Dia juga mengingatkan jika terbukti ada pegawai pajak yang seperti Gayus akan langsung diambil tindakan tegas. “Pokoknya kita akan mempelajari kasus-kasus seperti gayus itu dan akan perbaiki serta pembinaan juga sangat perlu
JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berhasil mengumpulkan perolehan pajak senilai Rp 81,64 triliun selama Februari 2011, naik 18,16% dari Februari tahun lalu. Jumlah ini mencapai 11,5% dari target penerimaan APBN 2011 yang sebesar Rp 708,9 triliun.
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmani mengatakan, penerimaan pajak selama bulan kemarin lebih banyak didorong setoran dari PPh dan PPN PPnBM. " untuk Pph non migas tercatat sebesar Rp 47,20 triliun, sedangkan Ppn dan PPnBM berjumlah Rp 33, 644 triliun,” ujar Fuad, Selasa, (8/3).
Sementara, untuk penerimaan pajak migas sebesar Rp 4, 311 triliun. "Jumlah yang diterima saat ini merupakan siklus tahunan dan hasilnya memang selalu begitu tapi tentunya PPh orang pribadi masih kecil,” tuturnya.
Fuad mengaku, kecilnya sumbangan dari setoran pajak perorangan lebih dikarenakan saat ini masih dalam masa penyampaian SPT tahunan PPh orang pribadi yang berakhir pada 31 Maret. Sekarang, PPh orang pribadi di Indonesia persentasenya masih rendah dibandingkan negara lain karena masih banyak yang belum menyerahkan.
"Ini mestinya menjadi isu nasional bahwa PPh orang pribadi di Indonesia masih kurang, Karena kita bangsa Indonesia sekarang ini kalo kita lihat tax ratio masih 12% ," imbuhnya.
Adapun, penerimaan Pajak hingga 7 Maret 2011 senilai Rp 94, 134 triliun, atau mencapai 12,03% dari target APBN.
Fuad memaparkan, untuk meningkatkan kontribusi setoran pajak orang pribadi perlu adanya dukungan dari berbagai pihak, baik wajib pajak sendiri maupun aparat penegak hukum. Dia menambahkan, akan terus mengejar sektor-sektor yang saat ini belum tersentuh pajak (undertax).
Selain itu dia menegaskan, akan bekerja keras untuk bisa mencapai target yang telah tertuang dalam APBN. Fuad menjamin jika uang pajak yang telah dibayarkan wajib pajak tidak akan dikorupsi oleh oknum pegawai pajak nakal seperti yang ditakutkan kebanyakan wajib pajak selama ini. "Sistemnya sudah cukup baik dan itu nggak mungkin bocor lagi. Uang pajak itu langsung di bayar ke bank," tandasnya.
Dia juga mengingatkan jika terbukti ada pegawai pajak yang seperti Gayus akan langsung diambil tindakan tegas. “Pokoknya kita akan mempelajari kasus-kasus seperti gayus itu dan akan perbaiki serta pembinaan juga sangat perlu
Tuesday, 8 March 2011
SPT PPh Elektronik berlaku Maret 2011
JAKARTA, KOMPAS.com - Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak penghasilan (PPh) menggunakan sistem elektronik akan mulai berlaku pada pertengahan tahun depan. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menargetkan, penyampaian SPT Tahunan PPh menggunakan sistem elektronik ini bisa berlaku pada Maret 2011 mendatang.
Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi Ditjen Pajak Haryo Damar bilang rencana pemberlakuan penyampaian SPT Tahunan PPh melalui sistem elektronik itu sedang dalam tahap proses pengembangan program. "Diharapkan November ini kajian awalnya sudah rampung, jadi prosesnya bisa terlaksana dan selesai sebelum Maret," terangnya, Senin (29/11/2010).
Haryo menjelaskan, masa pemberlakuan SPT PPh tidak bersamaan dengan SPT Masa PPN karena berkaitan dengan pola kebiasaan masyarakat yang lebih menyukai penyampaian SPT secara langsung. Seperti diketahui, Ditjen Pajak memberlakukan SPT Masa PPN secara elektronik lebih awal yakni per Januari 2011
Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi Ditjen Pajak Haryo Damar bilang rencana pemberlakuan penyampaian SPT Tahunan PPh melalui sistem elektronik itu sedang dalam tahap proses pengembangan program. "Diharapkan November ini kajian awalnya sudah rampung, jadi prosesnya bisa terlaksana dan selesai sebelum Maret," terangnya, Senin (29/11/2010).
Haryo menjelaskan, masa pemberlakuan SPT PPh tidak bersamaan dengan SPT Masa PPN karena berkaitan dengan pola kebiasaan masyarakat yang lebih menyukai penyampaian SPT secara langsung. Seperti diketahui, Ditjen Pajak memberlakukan SPT Masa PPN secara elektronik lebih awal yakni per Januari 2011
Telat Serahkan SPT, Denda Rp 100.000
JAKARTA, KOMPAS.com - Wajib pajak yang diharuskan menyerahkan Surat Pemberitahuan atau SPT sebaiknya menghindari kemungkinan terkena denda pajak senilai Rp 100.000 per orang. Denda ini bisa dikenakan jika wajib pajak orang pribadi terlambat menyampaikan SPT Tahun Pajak 2010 karena melampaui batas waktu yang ditetapkan, yakni 31 Maret 2011.
"Dengan demikian, masih ada waktu sekitar 27 hari sebelum wajib pajak orang pribadi terlambat memenuhi kewajibannya menyerahkan SPT itu," ujar Kepala Sub Direktorat Kepatuhan Wajib Pajak dan Pemantauan, Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan, Direktorat Jenderal Pajak, Liberti Pandiangan di Jakarta, Jumat (4/3/2011). Liberti berbicara dalam Ngobrol Santai dengan Media Massa bertema Rasio Penyampaian SPT Tahunan PPh pada tahun 2010 mencapai 58,16 persen.
Menurut Liberti, selain wajib pajak orang pribadi, wajib pajak badan pun akan dikenakan sanksi yang sama jika terlambat menyerahkan SPT Tahun Pajak 2010. Namun, sanksi bagi wajib pajak badan lebih berat, yakni denda Rp 1 juta. Denda itu dibebankan jika terlambat menyampaikan SPT tahun Pajak 2010 pada 30 April 2011.
"Untuk wajib pajak yang mendapatkan penghasilan dari kantornya, dan Pajak Penghasilan (PPh) mereka dibayarkan oleh pemberi kerjanya, maka dia hanya perlu melengkapi SPT dengan formulir bukti pembayaran PPh dari kantornya, yakni formulir 1721 A1. Kecuali ada tambahan penghasilan. Dia harus melaporkan juga penghasilan tambahan itu," katanya.
Liberti mengatakan, meskipun Ditjen Pajak sempat tertekan oleh isu-isu mafia pajak dan mafia pengadilan pajak, namun kepercayaan terhadap lembaga ini tidam surut. Hal itu terlihat dari lonjakan signifikan tingkat kepatuhan dalam menyampaikan SPT Tahunan PPh.
Pada tahun 2008, jumlah wajib pajak yang menyerahkan SPT mencapai 2.097.849 atau 33,08 persen dari jumlah wajib pajak yang terdaftar. Jumlah itu meningkat pada tahun 2009 dengan 5.413.114 wajib pajak yang menyerahkan SPT tahunannya atau 54,15 persen dari jumlah wajib pajaknya. Jumlah itu masih bertambah menjadi 8.202.309 wajib pajak yang menyerahkan SPT pada tahun 2010, atau sekitar 58,16 persen dari total wajib pajak yang terdaftar.
"Padahal pada tahun 2010, kami hanya menargetkan tingkat kepatuhan sebesar 57,5 persen. Realisasinya mencapai 58,16 persen sehingga target tercapai lebih dari 100 persen," kata Liberti.
Untuk mengantisipasi keterlambatan penyampaian SPT PPh tersebut, Ditjen Pajak telah mengagendakan tambahan jadwal operasional loket penerimaan SPT. Untuk wajib pajak orang pribadi ada tambahan jam operasional pada tanggal 31 Maret 2011 hingga pukul 20.00. Begitu juga untuk wajib pajak badan ada tambahan jadwal pada 30 April 2011, yakni hingga pukul 19.00.
"Dengan demikian, masih ada waktu sekitar 27 hari sebelum wajib pajak orang pribadi terlambat memenuhi kewajibannya menyerahkan SPT itu," ujar Kepala Sub Direktorat Kepatuhan Wajib Pajak dan Pemantauan, Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan, Direktorat Jenderal Pajak, Liberti Pandiangan di Jakarta, Jumat (4/3/2011). Liberti berbicara dalam Ngobrol Santai dengan Media Massa bertema Rasio Penyampaian SPT Tahunan PPh pada tahun 2010 mencapai 58,16 persen.
Menurut Liberti, selain wajib pajak orang pribadi, wajib pajak badan pun akan dikenakan sanksi yang sama jika terlambat menyerahkan SPT Tahun Pajak 2010. Namun, sanksi bagi wajib pajak badan lebih berat, yakni denda Rp 1 juta. Denda itu dibebankan jika terlambat menyampaikan SPT tahun Pajak 2010 pada 30 April 2011.
"Untuk wajib pajak yang mendapatkan penghasilan dari kantornya, dan Pajak Penghasilan (PPh) mereka dibayarkan oleh pemberi kerjanya, maka dia hanya perlu melengkapi SPT dengan formulir bukti pembayaran PPh dari kantornya, yakni formulir 1721 A1. Kecuali ada tambahan penghasilan. Dia harus melaporkan juga penghasilan tambahan itu," katanya.
Liberti mengatakan, meskipun Ditjen Pajak sempat tertekan oleh isu-isu mafia pajak dan mafia pengadilan pajak, namun kepercayaan terhadap lembaga ini tidam surut. Hal itu terlihat dari lonjakan signifikan tingkat kepatuhan dalam menyampaikan SPT Tahunan PPh.
Pada tahun 2008, jumlah wajib pajak yang menyerahkan SPT mencapai 2.097.849 atau 33,08 persen dari jumlah wajib pajak yang terdaftar. Jumlah itu meningkat pada tahun 2009 dengan 5.413.114 wajib pajak yang menyerahkan SPT tahunannya atau 54,15 persen dari jumlah wajib pajaknya. Jumlah itu masih bertambah menjadi 8.202.309 wajib pajak yang menyerahkan SPT pada tahun 2010, atau sekitar 58,16 persen dari total wajib pajak yang terdaftar.
"Padahal pada tahun 2010, kami hanya menargetkan tingkat kepatuhan sebesar 57,5 persen. Realisasinya mencapai 58,16 persen sehingga target tercapai lebih dari 100 persen," kata Liberti.
Untuk mengantisipasi keterlambatan penyampaian SPT PPh tersebut, Ditjen Pajak telah mengagendakan tambahan jadwal operasional loket penerimaan SPT. Untuk wajib pajak orang pribadi ada tambahan jam operasional pada tanggal 31 Maret 2011 hingga pukul 20.00. Begitu juga untuk wajib pajak badan ada tambahan jadwal pada 30 April 2011, yakni hingga pukul 19.00.
Sunday, 6 March 2011
Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pajak Direvisi
Menteri Keuangan merevisi peraturan tentang tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 16/PMK.03/2011. Salinan PMK Nomor 16/PMK.03/2011 yang diperoleh di Jakarta, Selasa (8/2/2011), menyebutkan, peraturan itu akan mulai berlaku 30 hari sejak tanggal diundangkan. PMK itu diundangkan pada 24 Januari 2011.
Salah satu pertimbangan penerbitan PMK baru itu adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak dan memberikan kepastian hukum dalam rangka penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang meliputi Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Peraturan baru ini mencabut dan menyatakan tidak berlaku dua PMK sebelumnya yaitu PMK Nomor 29/PMK.03/2005 tentang Tata Cara Pembayaran Kembali Kelebihan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, dan PMK Nomor 188/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Pasal 2 PMK itu menetapkan kondisi kelebihan pembayaran PPh, PPN, dan/atau PPnBM yang dapat dikembalikan antara lain pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Selain itu pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali oleh MA. Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan, pajak yang lebih dibayar karena diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, dan pajak yang lebih dibayar karena diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Pembatalan Surat Ketetapan Pajak.
Selain itu pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak atau Surat keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak.
Sementara kelebihan pembayaran PBB dapat dikembalikan dalam hal antara lain terdapat PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPP) PBB, PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan PBB, PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi.
Pada ketentuan peralihan PMK itu disebutkan bahwa dengan berlakunya PMK itu, kelebihan pembayaran PPh, PPN dan atau PPnBM yang telah diperhitungkan dengan utang PBB dan belum diselesaikan sampai dengan berlakunya PMK ini, diselesaikan dengan cara kompensasi berdasarkan PMK ini. Sumber: Kompas.com
Salah satu pertimbangan penerbitan PMK baru itu adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak dan memberikan kepastian hukum dalam rangka penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang meliputi Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Peraturan baru ini mencabut dan menyatakan tidak berlaku dua PMK sebelumnya yaitu PMK Nomor 29/PMK.03/2005 tentang Tata Cara Pembayaran Kembali Kelebihan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, dan PMK Nomor 188/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Pasal 2 PMK itu menetapkan kondisi kelebihan pembayaran PPh, PPN, dan/atau PPnBM yang dapat dikembalikan antara lain pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Selain itu pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali oleh MA. Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan, pajak yang lebih dibayar karena diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, dan pajak yang lebih dibayar karena diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Pembatalan Surat Ketetapan Pajak.
Selain itu pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak atau Surat keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak.
Sementara kelebihan pembayaran PBB dapat dikembalikan dalam hal antara lain terdapat PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPP) PBB, PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan PBB, PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi.
Pada ketentuan peralihan PMK itu disebutkan bahwa dengan berlakunya PMK itu, kelebihan pembayaran PPh, PPN dan atau PPnBM yang telah diperhitungkan dengan utang PBB dan belum diselesaikan sampai dengan berlakunya PMK ini, diselesaikan dengan cara kompensasi berdasarkan PMK ini. Sumber: Kompas.com
Pengisian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi bagi Wanita Kawin
* Apakah wanita kawin tersebut memiliki NPWP yang terpisah dengan suaminya (NPWP dengan kode cabang (tiga digit terakhir) "000")? Jika jawabannya:
YA.
Apapun pekerjaan dari wanita kawin tersebut (baik hanya sebagai pegawai dari satu pemberi kerja yang menerima 1721-A1 atau 1721-A2 ataupun memiliki penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas) jika wanita kawin tsb memiliki NPWP dengan kode cabang (tiga digit terakhir) "000",
maka harus diperlakukan sebagai isteri yang menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, yang pengisian SPT Tahunannya sama dengan wanita kawin dengan perjanjian pisah harta (SE29/PJ/2010). Maka pengisian SPT Tahunannya adalah sbb:
Pelaporan bagi wanita kawin ini dilakukan terpisah dengan SPT Tahunan PPh suami. (SE29/PJ/2010)
Dan untuk penghitungan PPh bagi wanita kawin ini, harus dihitung layaknya wanita kawin yang memilih untuk melakukan hak/kewajiban perpajakannya sendiri. Sehingga penghasilan neto wanita kawin tersebut harus digabung dengan penghasilan neto suami, dan besarnya PPh terutang bagi wanita kawin (isteri) dihitung dengan perbandingan penghasilan neto antara suami dan isteri.
Kolom PTKP baik dalam SPT Tahunan suami maupun isteri diisi dengan tanda strip (-) dan membuat lembar penghitungan penghasilan serta PPh terutang tersendiri. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 32 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 19).
Kolom Penghasilan Kena Pajak baik dalam SPT Tahunan suami maupun isteri diisi dengan tanda strip (-) dan membuat lembar penghitungan penghasilan serta PPh terutang tersendiri. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 32 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 20)
Contoh cara penghitungan dan bentuk lembar penghitungan penghasilan serta PPh Terutang bagi isteri yang mempunyai NPWP sendiri (terpisah dari suami) dapat dilihat pada halaman 33-36 di Buku Petunjuk Pengisian SPT Tahunan 1770 atau halaman 26-28 di Buku Petunjuk Pengisian 1770S (PER 34/PJ/2010)
TIDAK. (wanita kawin tsb memiliki NPWP cabang/NPWP anggota keluarga dengan kode cabang (tiga digit terakhir) "001")
Maka kita harus melihat lebih lanjut apa pekerjaan dari wanita kawin tersebut. Tanyakan pertanyaan untuk mengetahui pekerjaannya.
Apakah wanita kawin tersebut bekerja sebagai pegawai dari satu pemberi kerja dan memperoleh 1721-A1/ 1721-A2? Jika jawabannya:
YA.
Maka pengisian SPT Tahunan nya adalah sebagai berikut:
Pelaporan disatukan dengan SPT Tahunan PPh suaminya, dimana penghasilan wanita kawin tsb dilaporkan didalam bagian "Penghasilan Isteri dari satu pemberi kerja" (1770-III Bagian A No.15 atau 1770S-II Bagian A No.13). Jadi penghasilan wanita tersebut sudah bersifat final dan tidak perlu ditambahkan dengan penghasilan neto suami. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 19 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 13)
PTKP di induk SPT Tahunan suami diisi dengan "K/jumlah tanggungan", tidak boleh ditulis "K/I/". Karena penghitungan penghasilan isteri sudah bersifat final sehinggan PTKP untuk isteri juga tidak perlu ditambahkan lagi dengan PTKP suami. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 19 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 13)
TIDAK.
wanita kawin tsb memiliki penghasilan dari :
usaha/pekerjaan bebas yg tidak ada hubungannya dgn usaha/pekerjaan bebas suami, anak/anak angkat yg belum dewasa).
bekerja sebagai karyawati pada pemberi kerja yang bukan sebagai Pemotong Pajak walaupun tidak mempunyai penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas.
bekerja sebagai karyawati pada lebih dari 1 (satu) pemberi kerja. Maka pengisian SPT Tahunannya adalah sbb: + Pelaporan disatukan dengan SPT Tahunan PPh suaminya. + Penghasilan neto isteri ditambahkan dengan penghasilan neto suaminya, begitu juga untuk PPh terutangnya menjadi suatu kesatuan. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 31 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 19) + PTKP di induk SPT Tahunan suaminya adalah "K/I/jumlah tanggungan" karena penghasilan isteri digabung didalam induk SPT suami maka PTKP nya juga digabung. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 31 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 19)
YA.
Apapun pekerjaan dari wanita kawin tersebut (baik hanya sebagai pegawai dari satu pemberi kerja yang menerima 1721-A1 atau 1721-A2 ataupun memiliki penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas) jika wanita kawin tsb memiliki NPWP dengan kode cabang (tiga digit terakhir) "000",
maka harus diperlakukan sebagai isteri yang menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, yang pengisian SPT Tahunannya sama dengan wanita kawin dengan perjanjian pisah harta (SE29/PJ/2010). Maka pengisian SPT Tahunannya adalah sbb:
Pelaporan bagi wanita kawin ini dilakukan terpisah dengan SPT Tahunan PPh suami. (SE29/PJ/2010)
Dan untuk penghitungan PPh bagi wanita kawin ini, harus dihitung layaknya wanita kawin yang memilih untuk melakukan hak/kewajiban perpajakannya sendiri. Sehingga penghasilan neto wanita kawin tersebut harus digabung dengan penghasilan neto suami, dan besarnya PPh terutang bagi wanita kawin (isteri) dihitung dengan perbandingan penghasilan neto antara suami dan isteri.
Kolom PTKP baik dalam SPT Tahunan suami maupun isteri diisi dengan tanda strip (-) dan membuat lembar penghitungan penghasilan serta PPh terutang tersendiri. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 32 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 19).
Kolom Penghasilan Kena Pajak baik dalam SPT Tahunan suami maupun isteri diisi dengan tanda strip (-) dan membuat lembar penghitungan penghasilan serta PPh terutang tersendiri. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 32 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 20)
Contoh cara penghitungan dan bentuk lembar penghitungan penghasilan serta PPh Terutang bagi isteri yang mempunyai NPWP sendiri (terpisah dari suami) dapat dilihat pada halaman 33-36 di Buku Petunjuk Pengisian SPT Tahunan 1770 atau halaman 26-28 di Buku Petunjuk Pengisian 1770S (PER 34/PJ/2010)
TIDAK. (wanita kawin tsb memiliki NPWP cabang/NPWP anggota keluarga dengan kode cabang (tiga digit terakhir) "001")
Maka kita harus melihat lebih lanjut apa pekerjaan dari wanita kawin tersebut. Tanyakan pertanyaan untuk mengetahui pekerjaannya.
Apakah wanita kawin tersebut bekerja sebagai pegawai dari satu pemberi kerja dan memperoleh 1721-A1/ 1721-A2? Jika jawabannya:
YA.
Maka pengisian SPT Tahunan nya adalah sebagai berikut:
Pelaporan disatukan dengan SPT Tahunan PPh suaminya, dimana penghasilan wanita kawin tsb dilaporkan didalam bagian "Penghasilan Isteri dari satu pemberi kerja" (1770-III Bagian A No.15 atau 1770S-II Bagian A No.13). Jadi penghasilan wanita tersebut sudah bersifat final dan tidak perlu ditambahkan dengan penghasilan neto suami. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 19 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 13)
PTKP di induk SPT Tahunan suami diisi dengan "K/jumlah tanggungan", tidak boleh ditulis "K/I/". Karena penghitungan penghasilan isteri sudah bersifat final sehinggan PTKP untuk isteri juga tidak perlu ditambahkan lagi dengan PTKP suami. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 19 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 13)
TIDAK.
wanita kawin tsb memiliki penghasilan dari :
usaha/pekerjaan bebas yg tidak ada hubungannya dgn usaha/pekerjaan bebas suami, anak/anak angkat yg belum dewasa).
bekerja sebagai karyawati pada pemberi kerja yang bukan sebagai Pemotong Pajak walaupun tidak mempunyai penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas.
bekerja sebagai karyawati pada lebih dari 1 (satu) pemberi kerja. Maka pengisian SPT Tahunannya adalah sbb: + Pelaporan disatukan dengan SPT Tahunan PPh suaminya. + Penghasilan neto isteri ditambahkan dengan penghasilan neto suaminya, begitu juga untuk PPh terutangnya menjadi suatu kesatuan. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 31 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 19) + PTKP di induk SPT Tahunan suaminya adalah "K/I/jumlah tanggungan" karena penghasilan isteri digabung didalam induk SPT suami maka PTKP nya juga digabung. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 31 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 19)
Friday, 4 March 2011
Patokan pajak penghasilan akan diperbesar
KontanOnline.com, 3 Maret 2011
BEIJING. Pemerintah China bakal memperbesar patokan pajak penghasilan. Mereka ingin pembayar pajak menyimpan dana lebih banyak. Hal ini bertujuan untuk mendorong permintaan domestik.
Dewan Negara telah mengusulkan kenaikan batas minimum atas pajak penghasilan tahun ini ke level 2.000 yuan atau US$ 304 per bulan. Artinya, hanya masyarakat berpendapatan di atas level itu yang bakal kena pajak. Sayangnya, mereka tidak memberikan perincian perubahan level tersebut.
Namun, pemerintah memastikan kebijakan itu untuk mendorong permintaan domestik. Hal ini agar sejalan dengan pertumbuhan ekspor. Kebijakan itu akan diterapkan setelah mendapat persetujuan Komite Tetap kongres di negara itu.
Analis khawatir dengan kebijakan ini. Hal ini karena pendapatan yang berlebih akan meningkatkan permintaan. Tentu saja akan meningkatkan tekanan terhadap harga pasar. "Negara ini telah mencoba menghambat kenaikan harga dengan memukul inflasi 4,9% di bulan Januari," kata analis.
BEIJING. Pemerintah China bakal memperbesar patokan pajak penghasilan. Mereka ingin pembayar pajak menyimpan dana lebih banyak. Hal ini bertujuan untuk mendorong permintaan domestik.
Dewan Negara telah mengusulkan kenaikan batas minimum atas pajak penghasilan tahun ini ke level 2.000 yuan atau US$ 304 per bulan. Artinya, hanya masyarakat berpendapatan di atas level itu yang bakal kena pajak. Sayangnya, mereka tidak memberikan perincian perubahan level tersebut.
Namun, pemerintah memastikan kebijakan itu untuk mendorong permintaan domestik. Hal ini agar sejalan dengan pertumbuhan ekspor. Kebijakan itu akan diterapkan setelah mendapat persetujuan Komite Tetap kongres di negara itu.
Analis khawatir dengan kebijakan ini. Hal ini karena pendapatan yang berlebih akan meningkatkan permintaan. Tentu saja akan meningkatkan tekanan terhadap harga pasar. "Negara ini telah mencoba menghambat kenaikan harga dengan memukul inflasi 4,9% di bulan Januari," kata analis.
Tuesday, 1 March 2011
Menjadi Wakil Rakyat
Koran Jakarta, 28 Februari 2011
Akhirnya hak angket pajak benar-benar ditolak oleh DPR melalui mekanisme pemungutan suara. Terlepas dari persoalan apakah seharusnya hak angket itu ditolak atau diterima dan manakah sesungguhnya yang mendekati kebenaran, kenyataan itu semakin meneguhkan anggapan bahwa wakilwakil rakyat di Senayan lebih banyak bermain untuk mengamankan kepentingan kelompok dan golongannya ketimbang berpikir tentang pemenuhan aspirasi rakyat. Karena fakta semacam inilah, maka sangat mudah dipahami jika rakyat perlahan-lahan mulai putus asa untuk menggantungkan aspirasinya kepada para wakil rakyat itu.
Secara umum, salah satu efek demokratisasi di Indonesia adalah runtuhnya mitos hubungan antara rakyat, kalangan eksekutif, dan legislatif. Keruntuhan mitos itu ditandai dengan semakin terbukanya ruang bagi masyarakat untuk melakukan kritik terhadap proses penyelenggaraan negara, baik melalui aksi-aksi unjuk rasa, forum-forum ilmiah, maupun berbagai bentuk tulisan di media massa dan buku. Dalam kerangka demitologi hubungan itu pula, maka informasi-informasi sensitif dan bahkan yang cenderung rahasia dengan mudah diketahui oleh masyarakat.
Demikian pula dengan informasi berkaitan dengan sepak terjang wakil rakyat di berbagai tingkatan. Perilaku wakil rakyat yang terlalu menonjolkan kepentingan kelompok dan terlampau beriorientasi pada pemenuhan aspek-aspek material menjadi pemandangan yang begitu mudah dijumpai dalam alam politik Indonesia pascareformasi, misalnya wakil rakyat yang terjebak ke dalam perangkap komodifi kasi jabatan politik sehingga kepentingan rakyat menjadi sesuatu yang terbaikan.
Harus secara jujur diakui bahwa dalam iklim demokrasi baru Indonesia yang tengah mencari bentuk, percampuran antara logika demokrasi dan pasar menjadi sangat sulit dielakkan, misalnya pada masa-masa menjelang pemilu, atas nama demokrasi caloncalon wakil rakyat berlomba mengemas pemasaran diri dalam berbagai sarana. Di sinilah awal mula terjadinya komodifi kasi jabatan politik itu. Persoalan pemasaran diri adalah persoalan modal dan lazim belaka bahwa semakin kuat modal yang dimiliki seorang calon anggota wakil rakyat, maka akan semakin menarik proses-proses pemasaran diri yang mereka lakukan.
Akibatnya, perebutan kursi wakil rakyat lebih merupakan pertaruhan untung-rugi yang lebih banyak dimotivasi oleh faktor-faktor ekonomi ketimbang kesadaran untuk membangun masyarakat dan terlebih cita-cita pemihakan kepada kepentingan kemasyarakatan. Akibatnya, menjadi tidak mengherankan ketika posisi itu akhirnya diraih, maka targettarget material menjadi tujuan utama dan bukan memikirkan kepentingan rakyat.
Maka akan sangat luar biasa jika ada di antara anggota-anggota parlemen itu yang secara sadar melihat posisinya sebagai kesempatan untuk memulai menancapkan tonggak kemakmuran bagi masyarakat dan benar-benar mewakili rakyat. Jika itu terjadi, tidak hanya akan mengembalikan tingkat kepercayaan rakyat kepada parlemen yang secara drastis menurun akibat sepak terjang mereka sendiri, tetapi juga akan menjadi tamparan serius bagi mereka-mereka yang meniatkan jabatan wakil rakyat itu untuk semata-mata pemenuhan hajat hidup pribadi dan kelompok.
Tak bisa dimungkiri, sering kali terjadi bahwa mereka yang turut berkompetisi dalam perebutan kursi anggota parlemen ini menganggap posisi wakil rakyat adalah sebagai pekerjaan. Maka wajar belaka ketika logika yang digunakan dalam menjalankan tugas adalah logika pekerja pada umumnya dan bukan logika sebagai kelompok yang sesungguhnya memiliki tanggung jawab besar dalam mengawal perubahan bangsa ini, utamanya perubahan nasib rakyat.
Akibat dominannya pola pikir seperti ini, maka wakil rakyat yang masih memiliki idealisme pun sering kali menyimpan keraguan bahwa mereka bisa memainkan peran penting dalam mengawal perubahan itu, misalnya seorang mantan aktivis prodemokrasi yang saat ini tengah menjadi anggota parlemen, meragukan apakah sebagai seorang mantan aktivis prodemokrasi yang telah lama berjuang dalam penegakan demokrasi ia mampu mengubah nasib para petani yang diwakilinya?
Pada dasarnya, keraguan seperti itu bukan tak beralasan karena ketika arus utama di kalangan wakil rakyat adalah kelompok yang tidak berparadigma kerakyatan, maka seorang aktivis idealis menjadi tidak ada artinya. Saya secara pribadi sama sekali tidak meragukan komitmen demokrasi dan perjuangan kepentingan rakyat kalangan anggota parlemen yang berlatar belakang aktivis. Tetapi selama ini belum ada cukup bukti yang bisa meyakinkan kita bahwa para aktivis atau mantan aktivis ini menjadi lokomotif perubahan sistem dan mental politik yang korup dan minus pemihakan kepada rakyat itu.
Karena itu, kita juga menunggu apakah kalangan anggota wakil rakyat yang berlatar belakang aktivis itu akan tetap idealis sebagaimana ketika mereka masih berada di luar jalur kekuasaan. Dalam praktiknya, tidak sedikit aktivis yang pada mulanya kritis kemudian justru terbawa arus atas apa-apa yang justru selama ini dikritiknya. Kita semua berharap agar kehadiran para aktivis ke dalam kancah politik Indonesia ini benar-benar membawa perubahan dan perbaikan bangsa.
Terlebih lagi, jika para aktivis ini tidak ikut terwarnai oleh iklim politik yang tidak sehat dan sebaliknya justru menjadi warna yang pelan-pelan menggeser warna kelam buku politik bangsa ini. Tidak banyak anggota parlemen yang secara tegas memiliki kesadaran bahwa mereka adalah wakil rakyat. Karena meskipun bernama wakil rakyat, hubungan antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakili hanya terjadi pada saat-saat kampanye penghimpunan dukungan.
Selebihnya, wakil rakyat dan konstituen ibarat dua dunia yang berlawanan, yang satu sama lain tidak saling kenal dan keduanya seolah berada pada aras dunia yang berbeda dimensi. Rakyat tidak lebih hanyalah sebagai legitimasi atas berbagai kepentingan sekelompok kecil anggota parlemen. Dalam kondisi seperti ini, jika ada pengakuan yang secara tegas dinyatakan dalam forum terbuka, yang dari situ kemudian muncul kesadaran bahwa para anggota parlemen adalah wakil rakyat, maka itu akan menjadi katalisator yang mempercepat proses demitologisasi hubungan wakil rakyat dan konstituten dari hubungan yang elitis kepada pola hubungan yang populis.
Meskipun demikian, pengakuan dan kesadaran saja tidak cukup. Kita semua menunggu anggota parlemen yang sadar bahwa mereka mewakili rakyat. Tidak hanya sadar, tetapi juga berusaha melakukan transformasi kesadaran itu menjadi pemihakan kepada rakyat sehingga rakyat tidak hanya disapa oleh para wakilnya itu lima tahun sekali, tetapi mereka adalah wakil rakyat dalam arti yang sebenar-benarnya. Wakil rakyat yang sadar dan berbuat sesuatu dengan kesadarannya itu demi kepentingan rakyat.
Akhirnya hak angket pajak benar-benar ditolak oleh DPR melalui mekanisme pemungutan suara. Terlepas dari persoalan apakah seharusnya hak angket itu ditolak atau diterima dan manakah sesungguhnya yang mendekati kebenaran, kenyataan itu semakin meneguhkan anggapan bahwa wakilwakil rakyat di Senayan lebih banyak bermain untuk mengamankan kepentingan kelompok dan golongannya ketimbang berpikir tentang pemenuhan aspirasi rakyat. Karena fakta semacam inilah, maka sangat mudah dipahami jika rakyat perlahan-lahan mulai putus asa untuk menggantungkan aspirasinya kepada para wakil rakyat itu.
Secara umum, salah satu efek demokratisasi di Indonesia adalah runtuhnya mitos hubungan antara rakyat, kalangan eksekutif, dan legislatif. Keruntuhan mitos itu ditandai dengan semakin terbukanya ruang bagi masyarakat untuk melakukan kritik terhadap proses penyelenggaraan negara, baik melalui aksi-aksi unjuk rasa, forum-forum ilmiah, maupun berbagai bentuk tulisan di media massa dan buku. Dalam kerangka demitologi hubungan itu pula, maka informasi-informasi sensitif dan bahkan yang cenderung rahasia dengan mudah diketahui oleh masyarakat.
Demikian pula dengan informasi berkaitan dengan sepak terjang wakil rakyat di berbagai tingkatan. Perilaku wakil rakyat yang terlalu menonjolkan kepentingan kelompok dan terlampau beriorientasi pada pemenuhan aspek-aspek material menjadi pemandangan yang begitu mudah dijumpai dalam alam politik Indonesia pascareformasi, misalnya wakil rakyat yang terjebak ke dalam perangkap komodifi kasi jabatan politik sehingga kepentingan rakyat menjadi sesuatu yang terbaikan.
Harus secara jujur diakui bahwa dalam iklim demokrasi baru Indonesia yang tengah mencari bentuk, percampuran antara logika demokrasi dan pasar menjadi sangat sulit dielakkan, misalnya pada masa-masa menjelang pemilu, atas nama demokrasi caloncalon wakil rakyat berlomba mengemas pemasaran diri dalam berbagai sarana. Di sinilah awal mula terjadinya komodifi kasi jabatan politik itu. Persoalan pemasaran diri adalah persoalan modal dan lazim belaka bahwa semakin kuat modal yang dimiliki seorang calon anggota wakil rakyat, maka akan semakin menarik proses-proses pemasaran diri yang mereka lakukan.
Akibatnya, perebutan kursi wakil rakyat lebih merupakan pertaruhan untung-rugi yang lebih banyak dimotivasi oleh faktor-faktor ekonomi ketimbang kesadaran untuk membangun masyarakat dan terlebih cita-cita pemihakan kepada kepentingan kemasyarakatan. Akibatnya, menjadi tidak mengherankan ketika posisi itu akhirnya diraih, maka targettarget material menjadi tujuan utama dan bukan memikirkan kepentingan rakyat.
Maka akan sangat luar biasa jika ada di antara anggota-anggota parlemen itu yang secara sadar melihat posisinya sebagai kesempatan untuk memulai menancapkan tonggak kemakmuran bagi masyarakat dan benar-benar mewakili rakyat. Jika itu terjadi, tidak hanya akan mengembalikan tingkat kepercayaan rakyat kepada parlemen yang secara drastis menurun akibat sepak terjang mereka sendiri, tetapi juga akan menjadi tamparan serius bagi mereka-mereka yang meniatkan jabatan wakil rakyat itu untuk semata-mata pemenuhan hajat hidup pribadi dan kelompok.
Tak bisa dimungkiri, sering kali terjadi bahwa mereka yang turut berkompetisi dalam perebutan kursi anggota parlemen ini menganggap posisi wakil rakyat adalah sebagai pekerjaan. Maka wajar belaka ketika logika yang digunakan dalam menjalankan tugas adalah logika pekerja pada umumnya dan bukan logika sebagai kelompok yang sesungguhnya memiliki tanggung jawab besar dalam mengawal perubahan bangsa ini, utamanya perubahan nasib rakyat.
Akibat dominannya pola pikir seperti ini, maka wakil rakyat yang masih memiliki idealisme pun sering kali menyimpan keraguan bahwa mereka bisa memainkan peran penting dalam mengawal perubahan itu, misalnya seorang mantan aktivis prodemokrasi yang saat ini tengah menjadi anggota parlemen, meragukan apakah sebagai seorang mantan aktivis prodemokrasi yang telah lama berjuang dalam penegakan demokrasi ia mampu mengubah nasib para petani yang diwakilinya?
Pada dasarnya, keraguan seperti itu bukan tak beralasan karena ketika arus utama di kalangan wakil rakyat adalah kelompok yang tidak berparadigma kerakyatan, maka seorang aktivis idealis menjadi tidak ada artinya. Saya secara pribadi sama sekali tidak meragukan komitmen demokrasi dan perjuangan kepentingan rakyat kalangan anggota parlemen yang berlatar belakang aktivis. Tetapi selama ini belum ada cukup bukti yang bisa meyakinkan kita bahwa para aktivis atau mantan aktivis ini menjadi lokomotif perubahan sistem dan mental politik yang korup dan minus pemihakan kepada rakyat itu.
Karena itu, kita juga menunggu apakah kalangan anggota wakil rakyat yang berlatar belakang aktivis itu akan tetap idealis sebagaimana ketika mereka masih berada di luar jalur kekuasaan. Dalam praktiknya, tidak sedikit aktivis yang pada mulanya kritis kemudian justru terbawa arus atas apa-apa yang justru selama ini dikritiknya. Kita semua berharap agar kehadiran para aktivis ke dalam kancah politik Indonesia ini benar-benar membawa perubahan dan perbaikan bangsa.
Terlebih lagi, jika para aktivis ini tidak ikut terwarnai oleh iklim politik yang tidak sehat dan sebaliknya justru menjadi warna yang pelan-pelan menggeser warna kelam buku politik bangsa ini. Tidak banyak anggota parlemen yang secara tegas memiliki kesadaran bahwa mereka adalah wakil rakyat. Karena meskipun bernama wakil rakyat, hubungan antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakili hanya terjadi pada saat-saat kampanye penghimpunan dukungan.
Selebihnya, wakil rakyat dan konstituen ibarat dua dunia yang berlawanan, yang satu sama lain tidak saling kenal dan keduanya seolah berada pada aras dunia yang berbeda dimensi. Rakyat tidak lebih hanyalah sebagai legitimasi atas berbagai kepentingan sekelompok kecil anggota parlemen. Dalam kondisi seperti ini, jika ada pengakuan yang secara tegas dinyatakan dalam forum terbuka, yang dari situ kemudian muncul kesadaran bahwa para anggota parlemen adalah wakil rakyat, maka itu akan menjadi katalisator yang mempercepat proses demitologisasi hubungan wakil rakyat dan konstituten dari hubungan yang elitis kepada pola hubungan yang populis.
Meskipun demikian, pengakuan dan kesadaran saja tidak cukup. Kita semua menunggu anggota parlemen yang sadar bahwa mereka mewakili rakyat. Tidak hanya sadar, tetapi juga berusaha melakukan transformasi kesadaran itu menjadi pemihakan kepada rakyat sehingga rakyat tidak hanya disapa oleh para wakilnya itu lima tahun sekali, tetapi mereka adalah wakil rakyat dalam arti yang sebenar-benarnya. Wakil rakyat yang sadar dan berbuat sesuatu dengan kesadarannya itu demi kepentingan rakyat.
Subscribe to:
Posts (Atom)