Harian Seputar Indonesia, 6 Juni 2011
SEMARANG– Klub sepak bola kebanggan warga Semarang, PSIS diduga mengemplang pajak penghasilan (PPh).
Dari audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)( 2007 lalu, PSIS Semarang tidak menyetorkan PPh ke kas negara sebesar Rp2,1 miliar. Selain PSIS,audit BPK 2010 lalu juga menyebutkan ada 18 klub sepak bola laindi Tanah Airyangdidugamenyelewengkan dana APBD. Ke-18 klub itu antara lain Persatuan Sepak Bola Aceh Utara (PSAU), Persibojonegoro; Persma Manado; Persatuan Sepak Bola Maluku Tenggara; Persatuan Sepak Bola Indonesia Djombang (PSID); PS Padang Sidempuan.Lantas, Persatuan Sepakbola Seluruh Situbondo (PSSS); Persisam; Persikendal; Persatuan Sepak Bola Bolaang Mongondow (Persibom); Persatuan Sepak Bola Mojokerto Putra (PSMP); dan Persimin Minahasa.
Selain itu, Persatuan Sepak Bola Pelalawan; Persebaya; Persiraja Banda Aceh; PSPS Pekan Baru Riau; Persib dan Persiba Balikpapan. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Apung Widadi mengatakan penyelewengan yang dilakukan klub sepak bola melalui berbagai cara, di antaranya dana bansos, hibah APBD, bantuan APBD melalui KONI,dan melalui SKPD.
Dia menilai adanya kecurangan dan penyelewengan yang dilakukan manajemen klub tidak lepas dari masih tergantungnya klub dari dana APBD. ”Karena dibiayai APBD, klub tidak berusaha untuk mandiri secara finansial. Akibatnya, klub juga rawan politisasi oleh elite politik lokal,” ungkap Apung kemarin. Menurut Apung, pemberian dana APBD ke klub melanggar UU Pengaturan Keuangan Daerah maupun teknis pengaturan keuangan daerah. Kemendagri juga sebelumnya sudah pernah melarang pemberian dana tersebut namun kemudian dicabut. Untuk itu, ketergantungan klub profesional pada dana APBD harus segera dihentikan dan mendorong klub-klub sepak bola untuk mandiri.
“Klub profesional tidak harus lagi bergantung pada APBD. Jika masih menggunakan dana rakyat, maka klub tersebut tidak profesional,”ujarnya. Eks Manajer PSIS Yoyok Sukawi membenarkan adanya temuan BPK tersebut.Namun demikian, permasalahan tersebut dinyatakan sudah selesai. Sebab, pihaknya telah melakukan kesepakatan dengan kantor Pajak untuk melakukan angsuran. ”Sampai sekarang kami terus mengangsur untuk memenuhi kewajiaban tersebut. Durasi angsurannya kurang lebih sekitar lima tahun. Saya lupa sampai tahun berapa angsurannya. Akan tetapi, kurang beberapa aja kok. Jadi tidak ada masalah,” kata Yoyok Sukawi dihubungi tadi malam.
Dia menjelaskan, sebenarnya kasus yang menimpa manajemen PSIS waktu itu juga ada muatan politisnya. Sebab, manajemen sudah membayar pajak di muka terhadap dana APBD yang diterima PSIS. Namun, di kemudian hari ternyata manajemen masih harus membayar pajak lagi terkait penghasilan pemain. ”Kalau memang itu pajak penghasilan pemain, tentunya yang memiliki kewajiban membayar pajak adalah pemain. Tapi sudahlah, kami bisa memaklumi kok.Apalagi,kami dan para pemain saling mendukung dan menyayangi. Bisa dikatakan, adanya tunggakan pajak tersebut lebih disebabkan karena kami memang tidak tahu kalau harus bayar pajak dua kali,”jelasnya.
Menurut Yoyok, setiap pemain asing diwajibkan membayar pajak sebesar USD 100 kepada pihak imigrasi.Namun, manajemen mengira hanya itu kewajiban yang harus dilakukan ternyata pemain yang bersangkutan masih dikenakan pajak lagi.Sedangkan,pemain domestik diwajibkan membayar pajak sebesar 11,5%. ”Selain itu, perhitungan pajak versi BPK dan kantor Pajak juga berbeda. Dari hasil konsultasi yang kami lakukan dengan kantor Pajak, pemain yang memiliki anak misalnya, besaran pajaknya berbeda dengan pemain yang belum memiliki anak,”kata Yoyok.
Ketua PSSI Kota Semarang, Yoyok Mardiyo menambahkan, kemandirian klub perlu segera direalisasikan, untuk memacu kompetisi antarklub sehingga tidak ada penyelewengan keuangan negara. “Tetapi meski klub tidak menggunkan dana APBD, tetap saja pemerintah harus memperhatikan pembinaan pemain muda yang berpotensi,”katanya. Dia mengaku mengapresiasi Liga Premier Indonesia (LPI) yang klub-klub pesertanya tidak lagi mengandalkan dana APBD.
“Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 29 ayat (2) Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, bahwa pembinaan dan pengembangan olahraga profesional dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga dan/atau organisasi olahraga profesional,”jelasnya.
Dari audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)( 2007 lalu, PSIS Semarang tidak menyetorkan PPh ke kas negara sebesar Rp2,1 miliar. Selain PSIS,audit BPK 2010 lalu juga menyebutkan ada 18 klub sepak bola laindi Tanah Airyangdidugamenyelewengkan dana APBD. Ke-18 klub itu antara lain Persatuan Sepak Bola Aceh Utara (PSAU), Persibojonegoro; Persma Manado; Persatuan Sepak Bola Maluku Tenggara; Persatuan Sepak Bola Indonesia Djombang (PSID); PS Padang Sidempuan.Lantas, Persatuan Sepakbola Seluruh Situbondo (PSSS); Persisam; Persikendal; Persatuan Sepak Bola Bolaang Mongondow (Persibom); Persatuan Sepak Bola Mojokerto Putra (PSMP); dan Persimin Minahasa.
Selain itu, Persatuan Sepak Bola Pelalawan; Persebaya; Persiraja Banda Aceh; PSPS Pekan Baru Riau; Persib dan Persiba Balikpapan. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Apung Widadi mengatakan penyelewengan yang dilakukan klub sepak bola melalui berbagai cara, di antaranya dana bansos, hibah APBD, bantuan APBD melalui KONI,dan melalui SKPD.
Dia menilai adanya kecurangan dan penyelewengan yang dilakukan manajemen klub tidak lepas dari masih tergantungnya klub dari dana APBD. ”Karena dibiayai APBD, klub tidak berusaha untuk mandiri secara finansial. Akibatnya, klub juga rawan politisasi oleh elite politik lokal,” ungkap Apung kemarin. Menurut Apung, pemberian dana APBD ke klub melanggar UU Pengaturan Keuangan Daerah maupun teknis pengaturan keuangan daerah. Kemendagri juga sebelumnya sudah pernah melarang pemberian dana tersebut namun kemudian dicabut. Untuk itu, ketergantungan klub profesional pada dana APBD harus segera dihentikan dan mendorong klub-klub sepak bola untuk mandiri.
“Klub profesional tidak harus lagi bergantung pada APBD. Jika masih menggunakan dana rakyat, maka klub tersebut tidak profesional,”ujarnya. Eks Manajer PSIS Yoyok Sukawi membenarkan adanya temuan BPK tersebut.Namun demikian, permasalahan tersebut dinyatakan sudah selesai. Sebab, pihaknya telah melakukan kesepakatan dengan kantor Pajak untuk melakukan angsuran. ”Sampai sekarang kami terus mengangsur untuk memenuhi kewajiaban tersebut. Durasi angsurannya kurang lebih sekitar lima tahun. Saya lupa sampai tahun berapa angsurannya. Akan tetapi, kurang beberapa aja kok. Jadi tidak ada masalah,” kata Yoyok Sukawi dihubungi tadi malam.
Dia menjelaskan, sebenarnya kasus yang menimpa manajemen PSIS waktu itu juga ada muatan politisnya. Sebab, manajemen sudah membayar pajak di muka terhadap dana APBD yang diterima PSIS. Namun, di kemudian hari ternyata manajemen masih harus membayar pajak lagi terkait penghasilan pemain. ”Kalau memang itu pajak penghasilan pemain, tentunya yang memiliki kewajiban membayar pajak adalah pemain. Tapi sudahlah, kami bisa memaklumi kok.Apalagi,kami dan para pemain saling mendukung dan menyayangi. Bisa dikatakan, adanya tunggakan pajak tersebut lebih disebabkan karena kami memang tidak tahu kalau harus bayar pajak dua kali,”jelasnya.
Menurut Yoyok, setiap pemain asing diwajibkan membayar pajak sebesar USD 100 kepada pihak imigrasi.Namun, manajemen mengira hanya itu kewajiban yang harus dilakukan ternyata pemain yang bersangkutan masih dikenakan pajak lagi.Sedangkan,pemain domestik diwajibkan membayar pajak sebesar 11,5%. ”Selain itu, perhitungan pajak versi BPK dan kantor Pajak juga berbeda. Dari hasil konsultasi yang kami lakukan dengan kantor Pajak, pemain yang memiliki anak misalnya, besaran pajaknya berbeda dengan pemain yang belum memiliki anak,”kata Yoyok.
Ketua PSSI Kota Semarang, Yoyok Mardiyo menambahkan, kemandirian klub perlu segera direalisasikan, untuk memacu kompetisi antarklub sehingga tidak ada penyelewengan keuangan negara. “Tetapi meski klub tidak menggunkan dana APBD, tetap saja pemerintah harus memperhatikan pembinaan pemain muda yang berpotensi,”katanya. Dia mengaku mengapresiasi Liga Premier Indonesia (LPI) yang klub-klub pesertanya tidak lagi mengandalkan dana APBD.
“Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 29 ayat (2) Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, bahwa pembinaan dan pengembangan olahraga profesional dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga dan/atau organisasi olahraga profesional,”jelasnya.
No comments:
Post a Comment