Monday, 18 July 2011

KPK dan BP Migas Berbeda Versi Soal Tunggakan Pajak


Harian Kontan, 16 Juli 2011
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) berbeda pendapat soal hitungan tunggakan pajak perusahaan minyak dan gas asing. BP Migas mengklaim, dari 14 perusahaan yang diungkapkan KPK menunggak pajak, hanya ada tiga lagi yang masih bermasalah.

Kepala Devisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas Badan Pelaksana Kegiatan BP Migas, Gde Pradnyana, mengatakan, tiga perusahaan itu pun belum tentu dianggap menunggak pajak. Sebab, ada perbedaan persepsi perhitungan pajak dari ketentuan perundang-undangan yang ada.

Ia menjelaskan, ada perusahaan asing yang sudah membayar pajak dinegaranya masing-masing. Karena Indonesia sudah meneken tax treaty dengan negara asal perusahaan, maka tidak boleh ada pungutan pajak lagi. "Tax treaty supaya tidak ada double tax," ujar Gde.

Adapun KPK tetap bersikukuh ada 14 perusahaan migas asing yang menunggak pajak. Wakil Ketua KPK Haryono Umar mengatakan, data tunggakan itu di dapatkan dari hasil audit yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Nilai tunggakan pajak yang belum dibayarkan tersebut mencapai Rp 1,6 triliun. KPK sendiri akan menindaklanjuti temuan ini karena berpotensi membuat kerugian negara. Haryono menyatakan bahwa temuan ini juga harus segera dibereskan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan BP Migas.

KPK khawatir penyelewengan dalam kasus mafia pajak yang menjerat mantan pegawai pajak, Gayus H. Tambunan, itu terulang lagi dalam temuan audit BPKP ini.

Direktur Jenderal Pajak Fuad Rachmany mengaku belum bisa banyak berkomentar soal temuan ini. "Saya harus cek dulu mengenai ini, karena saya tidak tahu persis." ujarnya. Ia berjanji akan menindaklanjuti temuan tersebut.

Kementerian Keuangan Mempelajari Tunggakan Pajak


Harian Kompas, 16 Juli 2011
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Keuangan belum meyakini laporan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait tunggakan pajak 14 kontraktor kontrak kerja sama minyak dan gas. Kementerian Keuangan baru akan mempelajari dulu seluruh informasi tersebut ke internal kementerian.
 
"Saya pelajari dulu, ya. Saya belum bisa memberikan komentar apa pun,"ujar Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati di Jakarta, Jumat (15/7), Saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu sedang menyelidiki apakah tertunggaknya penerimaan negara sektor pajak itu karena unsur kesengajaan atau bukan (Kompas, 15/7).
 
Terkait adanya 14 perusahaan migas asing yang belum membayar pajak, Kementerian Koordinator Perekonomian belum bisa memberikan pernyataan. "Saya belum mendapat laporan tentang itu. Saya belum bisa berkomentar,"kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Jumat, di Kantor Presiden, seusai menghadiri rapat kabinet terbatas.
 
Secara terpisah, mantan Dirjen Pajak M Tjiptardjo menjelaskan, segala kewajiban, termasuk pajak yang harus dibayar perusahaan asing, memang sudah tercantum dalam kontrak karya. Jadi, pihak Direktorat Jenderal Pajak sendiri tinggal menagih apa yang tercantum dalam kontrak karya.
 
"Data lengkap ada di kantor pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing. Mereka tahu semua kewajiban yang harus dibayar,"ujarnya.
 
Tjiptardjo heran jika lembaga yang mengungkapkan kasus ini justru KPK. kalau semuanya ingin jelas, KPK sebaiknya membuka identitas perusahaan yang diduga menunggak pajak itu. "Saya heran, kenapa kok KPK, artinya, ini ada dugaan korupsi,"serunya.
 
Ridaya Laodengkowe, Koordinator Nasional Koalisi Publish What You Pray (PWYP), koalisi untuk transparansi dan akuntabilitas tata kelola sumber daya ekstraktif, menegaskan bahwa terkuaknya kasus penunggakan pajak oleh 14 perusahaan migas asing ini merupakan momentum tepat bagi pemerintah mempercepat implementasi transparansi industri ekstraktif. Hal ini untuk menghindari kerugian negara akibat kesalahan pengelolaan industri itu.
 
"Langkah KPK perlu diteruskan secepatnya agar ada kepastian atas status kasus ini, tidak jadi sandera baru dalam upaya pembenahan tata kelola aliran penerimaan negara dari industri ekstraktif (pertambangan, minyak, dan gas bumi),"katanya. 

Saturday, 16 July 2011

14 Perusahaan Migas Asing Tak Bayar Pajak

Harian Kompas, 15 Juli 2011
Jakarta, Kompas - Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkapkan, sebanyak 14 perusahaan asing di sektor minyak dan gas tidak pernah membayar pajak selama bertahun-tahun. Akibatnya, negara dirugikan hingga lebih dari Rp 1,6 triliun.
 
"Ada perusahaan yang tidak membayar pajak dari tahun 1991. Bahkan, ada beberapa perusahaan yang tak membayar pajak selama lima kali menteri keuangan ,"kata Haryono Umar, Wakil Ketua KPK, di Jakarta, Kamis (14/7). Haryono tidak menyebut ke-14 perusahaan itu. "Nama-nama perusahaannya ada di Direktur Jenderal Pajak,"ujarnya.
 
Haryono menjelaskan, dari data Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), pajak yang tidak dibayarkan tersebut sebesar Rp 1,6 triliun. Namun, potensi kerugian keuangan negara lebih besar karena data baru mengacu pada catatan BP Migas.
 
Menurut Haryono, KPK mendorong Direktorat Jenderal Pajak agar pajak tersebut segera ditagih. "Kami minta agar pajak itu segera ditagih. Harus segera kirim surat tagihan agar pajak itu dibayar,"ujar Haryono.
 
Haryono khawatir ada ulah penyelenggara negara yang nakal terkait dengan tidak dibayarnya pajak oleh perusahaan asing itu. Oleh karena itu, menurut Haryono, KPK akan mendalami mengapa perusahaan-perusahaan tersebut dibiarkan lama tidak membayar pajak.
 
"Masalahnya adalah pajak itu kedaluwarsa kalau 10 tahun tidak ditagih. Nah, KPK akan mendalami apakah ada kesengajaan untuk membuat pajak itu kedaluwarsa,"katanya.
 
Unsur pimpinan KPK bidang pencegahan itu menyatakan pihaknya tengah mencari pihak yang bertanggung jawab atas tidak tertagihnya pajak tersebut."Ini disengaja atau tidak. Kalau sengaja tidak ditagih, siapa yang bikin ini," ujar Haryono.

KPK telah berkoordinasi dengan BP Migas, Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal Anggaran untuk membahas permasalahan pajak dibelasan perusahaan asing itu. Koordinasi dilakukan dalam pertemuan hari Rabu lalu.

Haryono menjelaskan, salah satu alasan perusahaan migas asing tak membayarkan pajaknya adalah adanya perbedaan pendapat dengan pemerintah mengenai perhitungan nilai pajak. "Karena berbeda pendapat soal jumlah, mungkin karena aturan, karena masalah kontrak," ujarnya.

secara terpisah, Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas BP Migas Gde Pradnyana menyatakan, tunggakan pajak yang dimaksud KPK itu adalah soal pajak perseroan serta pajak atas bunga, dividen dan royalti. Hal ini mengacu pada paparan BP Migas kepada KPK, Rabu lalu.

Dari 14 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas yang dinyatakan belum membayar pajak itu, saat ini 11 kontraktor migas dinyatakan sudah melunasi pembayaran pajak terkait. Jadi, masalah tunggakan pajak untuk 11 perusahaan asing migas dianggap selesai. "Adapun tiga sisanya dalam proses penyelesaian, baik di pengadilan pajak maupun di Kementerian Keuangan," kata Gde.

Untuk meningkatkan transparansi pengelolaan keuangan di sektor hulu migas, menurut Gde, badan pelaksana itu akan membuat nota kesepahaman dengan KPK. "Jadi, nota kesepahaman ini secara makro, bisa saja dalam pelaksanaannya menyangkut audit keuangan," ujarnya.

Sementara itu, Wakil Presiden Asosiasi Perminyakan Indonesia Sammy Hamzah mengakui, ada beberapa anggota asosiasi perminyakan atau kontraktor migas yang berbeda pendapat dengan kantor pajak. "Saya yakin bahwa ini bukan karena kelalaian, mungkin memang ada perbedaan persepsi," katanya.

Untuk memastikan hal itu, kata Sammy, pihaknya akan segera mengecek persoalan tunggakan pajak tersebut di internal organisasi dan untuk mengetahui perusahaan-perusahaan yang memiliki masalah pajak. "Kasus pajak antar perusahaan itu tentu berbeda-beda. Kemungkinan bukan berkaitan dengan pajak selama kegiatan eksplorasi, melainkan pajak yang dikenakan kepada kontraktor migas yang berproduksi," ujarnya.

Secara terpisah, anggota Komisi VII DPR, yang juga anggota Badan Anggaran DPR. Satya W Yudha, menyatakan, pihak BP Migas harus segera melakukan verifikasi soal perhitungan tersebut. Itu karena badan pelaksana tersebut punya tenaga ahli yang dapat menghitung pajak dalam kontrak bagi hasil produksi. "Kami minta BP Migas segera usut tuntas hal ini," katanya.

Selain itu, KPK juga diminta memanfaatkan jasa konsultan yang paham penghitungan pajak dalam kontrak bagi hasil produksi (PSC). "Jangan sampai pagi-pagi dianggap menggelapkan uang negara, padahal KKKS masih dalam tahap eksplorasi migas, belum berproduksi secara komersial," ujar Satya.

Dalam PSC disebutkan, pajak baru dibayarkan setelah kegiatan eksplorasi selesai atau secara komersial dinyatakan berproduksi. Jadi enam tahun pertama masa eksplorasi, kontraktor tidak dikenai pajak. Perusahaan migas itu baru dikenai pajak begitu eksplorasi berhasil dan bisa beroperasi secara komersial.

Namun, diakui, aturan pajak dalam kontrak itu berbeda dengan peraturan pemerintah (PP) tentang cost recovery (biaya operasi yang bisa ditagihkan ke negara) yang baru diterbitkan pemerintah. Dalam aturan itu, kontraktor harus membayar pajak mulai dari eksplorasi. Hal ini menjadi salah satu alasan asosiasi perminyakan mengajukan uji materi atas PP itu.    

Wednesday, 6 July 2011

BPS Siap Lakukan Sensus Pajak


Detikfinance.com, 5 Juli 2011
Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) siap melakukan sensus pajak, untuk mengetahui potensi pajak sebenarnya di luar data kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang dimiliki Ditjen Pajak.

Hal tersebut disampaikan Kepala BPS Rusman Heriawan saat ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Senin (4/7/2011) malam.

"Sensus pajak intinya sebenarnya adalah mau melihat potensi dari pajak kita, mungkin kita bisa masuk ke underground economy juga. Semua kan potensi, kalau di luar negeri, semua aktivitas ekonomi harusnya kan jadi wajib pajak," ujarnya.

Namun, Rusman menegaskan data potensi pajak tersebut tidak serta-merta langsung dikenakan pajak. Pengenaan pajak tetap berlandaskan aturan kena pajak.

"Nah, dalam sensus pajak itu, ini yang dicari, sebenarnya potensinya berapa. Bukan langsung dikenakan berapa, itu soal kedua. Tapi ya objek pajak itu berapa sih sebenarnya," jelasnya.

Sensus pajak ini, tambah Rusman, sangat penting, agar pihak Ditjen Pajak dapat melakukan ekstensifikan dalam pemungutan penerimaan negara melalui pajak.

"Nanti bisa evaluasi sebenarnya potensi dan realisasi pajak itu bagaimana. Dirjen pajak itu kan tidak bisa mengekstensifikasi pajaknya kalau dia belum tahu di lapangannya, potensi di lapangannya," ujarnya.

Menurut Rusman, dalam sensus pajak tersebut, pihaknya akan melihat potensi pajak dari perorangan maupun badan usaha.

"Hitungnya perorangan, perusahaan, usaha,semua dihitung kayak sensus ekonomi. Nanti kita bandingkan, apa yang di lapangan, apa yang ada di NPWP itu, sebenarnya yang sudah register itu berapa, yang belum bagaimana," ujarnya.

Namun, lanjut Rusman, fokus sensus pajak ini diutamakan ke badan usaha. Pasalnya, data untuk badan usaha masih banyak yang belum tercatat dibandingkan data perorangan.

"Tapi kalau perorangan sudah tidak bisa menghindar karena pajak kita kan otomatis dipotong oleh pembayar tapi kalau perusahaan, mungkin arahnya ke badan usaha, kaki lima juga badan usaha. Ini underground itu, tapi jangan bicara kaki lima mau dipajakin, bukan itu, dia tetap dalam coverage sensus, cuma apakah dia dipajakin, tega amat sih dipajakin, harus ada batas-batas minimal," jelasnya.

Sebagai bekal sensus pajak, Rusman menyatakan akan memadukan semua data terkait potensi pajak tersebut. Selain data dari BPS, pihaknya akan menggabungkan data dari Ditjen Pajak dan Bursa Efek.

"Nanti kita padukan semua data, yang ada di pajak,BPS, ambil di mana-mana, mungkin di BEJ, sebelum ke lapangan kita konsolidasikan dulu sampai menjadi suatu daftar, nanti kita bawa daftar itu ke lapangan," ujarnya.

Rusman mengaku siap membantu pihak Ditjen Pajak. Pasalnya, meskipun memiliki banyak aparat pajak, tetapi jika sensus ini dilakukan sepenuhnya oleh para aparat pajak dikhawatirkan banyak badan usaha yang enggan terbuka karena takut ditagih pajaknya.

"Tergantung dirjen pajak ya, kalau BPS kan siap saja membantu, support. Kan selama ini kita pakai mitra dan ini tidak dikerjakan oleh BPS sendiri, kan aparat pajak juga banyak, cuma kesannya kalau aparat pajak yang turun langsung, kesannya itu kan dunia usaha jadi tidak terbuka," pungkasnya.

Monday, 4 July 2011

Menkeu Tolak Putihkan Tunggakan Wajib Pajak


Rakyatmerdekaonline.com, 2 Juli 2011
RMOL.Untuk menggenjot penerimaan negara dari sektor perpajakan, pemerintah bakal menggelar sensus pajak alias mendata semua wajib pajak potensial. Upaya ini akan mulai dilakukan sekitar September 2011.

“Kementerian Keuangan ber­sa­ma Ditjen Pajak melakukan yang kita sebut sebagai sensus per­pa­jakan nasional,” ujar Men­teri Ke­u­angan (Menkeu) Agus Mar­to­war­do­jo di Gedung DPR, Kamis (30/6).

Menurutnya, dalam sensus perpajakan ini akan dilakukan kombinasi antara pendalaman dan penyisiran potensi-potensi pajak yang ada di seluruh Indo­nesia. Program ini bersifat nasio­nal dan dilakukan untuk mem­per­luas database perpajakan. Saat ini, jumlah surat pemberitahuan (SPT) pajak di Indonesia ada 9 juta atau mengalami peningkatan.

“Tetapi jumlah 9 juta SPT itu dibandingkan dengan potensi In­do­nesia sangat kecil sekali,” ujarnya.

Ditjen Pajak, kata Agus, akan mengerahkan seluruh Kantor Pelayanan Pajak yang saat ini berjumlah 300 untuk melakukan penyisiran wajib pajak, baik itu di daerah Industri maupun pe­mukiman, shopping centre, per­kantoran, apartemen dan sentra-sentra ekonomi.

Selain itu, lanjut Agus, ke­menteriannya melalui Ditjen Pajak akan melakukan verifikasi kembali dan mengintensifkan upaya penagihan.

Untuk itu, pihaknya akan meng­gandeng aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan KPK untuk menjaga kualitas penagihan pajak.

Pemerintah, menurut Agus, ti­dak akan bersikap kompromi ke­pada pengemplang pajak.

Karena itu, dia mengingatkan para wajib pajak bahwa peme­rintah tidak akan memutihkan tunggakan pajak yang dilakukan.

Agus mengakui, terdapat aku­mu­lasi piutang pajak sejak ber­tahun-tahun. Akumulasi tung­ga­kan itu sedang dikaji mana yang masuk kategori kedaluwarsa, ma­cet, diragukan dan kurang lancar.

Namun demikian, hingga per­tengahan pertama tahun ini, posisi APBN masih surplus se­kitar Rp 40 triliun.

Meski surplus, diperkirakan sampai akhir tahun nanti APBN mengalami defisit. Pemerintah dalam APBN-P akan meng­usul­kan defisit anggaran dijaga pada kisaran 2 persen.

“Dalam RAPBN-P yang akan kami ajukan minggu depan, akan dicari bentuk yang kira-kira bisa disepakati dengan DPR, supaya anggaran itu bisa efektif. Penye­rapan itu bisa (meningkat) tinggi dan tidak banyak dana yang meng­anggur,” jelas Agus.

Sebelumnya, dalam laporan audit Badan Pemeriksa Ke­u­angan (BPK) piutang pajak hing­ga akhir 2010 mencapai Rp 54 triliun.

Dari jumlah itu, terdapat piu­tang berusia kurang 1 tahun se­besar Rp 17,26 triliun, berumur 1-3 tahun Rp 11 triliun, lalu 3-5 ta­hun Rp 7,4 tri­liun dan di atas 5 tahun Rp 18,2 triliun.

Selain itu, pemerintah mela­kukan penyisihan piutang pajak macet Rp 9,45 triliun. Ada pula piutang yang telah kedaluwarsa (lebih 10 tahun) sebanyak Rp 2,64 triliun, piutang diusulkan dihapus Rp 202 miliar, dan piu­tang yang telah dihapus Rp 45,8 miliar. 

Ditjen Pajak Lakukan Sensus Nasional


jpnn.com, 2 Juli 2011
JAKARTA – Ditjen Pajak Kementerian Keuangan kembali memulai program perluasan basis pajak. Pada triwulan kedua tahun ini Ditjen Pajak bakal menggelar sensus perpajakan. ”Di sensus perpajakan nasional itu akan dilakukan kombinasi antara pendalaman dan penyisiran potensi-potensi pajak yang ada di Indonesia,” kata Menkeu Agus Martowardojo di gedung DPR, Jakarta, (30/6).

Dia mengatakan, meski pengembalian surat pemberitahuan (SPT) pajak penghasilan (PPh) tahunan telah meningkat dari 7,7 juta menjadi 9 juta, jumlah tersebut dinilai masih terlalu minim. ”Jumlah sembilan juta itu masih kecil dari potensi Indonesia,” kata mantan Dirut Bank Mandiri itu.

Menkeu menambahkan, basis pajak di Indonesia seharusnya lebih besar dari saat ini. ”Potensi itu dilihat dari jumlah penduduk, jumlah perusahaan yang mempunyai tempat usaha yang terdaftar. Bila dilihat dari jumlah pengusaha atau rakyat pekerja di Indonesia, itu kecil sekali,” kata Agus. Dalam sensus itu, pihaknya bakal bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS).

Agus mengatakan, penggunaan basis data BPS tersebut tidak menyalahi ketentuan. Sebab, dalam UU Ketentuan Umum Perpajakan disebutkan bahwa setiap instansi bisa memberikan data yang relevan untuk pemungutan pajak.

Dia menambahkan, sensus tersebut bakal melibatkan 300 kantor pelayanan pajak (KPP). Penyisiran bakal dilakukan di daerah-daerah industri, permukiman, dan gedung-gedung bertingkat seperti apartemen dan pusat perbelanjaan, hingga perkantoran. ”Semua sentra ekonomi seperti pusat perdagangan, pusat industri, kami sisir,” katanya.

Agus berharap program itu bisa meningkatkan jumlah pemegang nomor pokok wajib pajak (NPWP). Selain itu, tingkat kepatuhan pembayaran diharapkan meningkat. ”Jumlah itu akan membuat penerimaan kita bisa lebih baik pada 2011 dan 2012,” katanya.

Namun, dia belum bersedia menyebutkan target penambahan penerimaan melalui program tersebut. Dalam APBN 2011, penerimaan perpajakan ditargetkan mencapai Rp 850,22 triliun. Penerimaan tersebut diproyeksikan meningkat menjadi Rp 874 triliun.

Friday, 1 July 2011

Ingin Tambah Penerimaan, Sensus Pajak akan Digelar


Harian Kontan, 1 Juli 2011
JAKARTA. Guna menggenjot penerimaan negara dari pajak, pemerintah bakal menggelar sensus pajak. Pendataan ulang semua wajib pajak potensial ini akan mulai berjalan pada kuartal ketiga 2011atau sekitar bulan September.

"Kementerian Keuangan bersama dengan Ditjen Pajak akan melakukan yang kami sebut sebagai sensus perpajakan nasional," kata Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo, Kamis (30/7).

Dalam sensus tersebut, pemerintah menggabungkan pendalaman dan penyisiran potensi-potensi pajak yang ada di seluruh Indonesia.

Sensus pajak bersifat nasional atau dilakukan di seluruh Indonesia. Tujuannya tak lain memperluas basis data (database) perpajakan.

Agus mengungkapkan, saat ini penyetor surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak di Indonesia berjumlah 9 juta wajib pajak atau meningkat 1,3 juta wajib pajak dari tahun lalu. "Tetapi, jumlah 9 juta SPT itu kecil sekali dibandingkan dengan potensi Indonesia," ujarnya.

Terlebih jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang kini mencapai 237,6 juta jiwa. Belum lagi di tambah jumlah perusahaan yang mempunyai tempat usaha terdaftar, jumlah pengusaha, ataupun orang yang bekerja di Indonesia. Agus menegaskan, potensi jumlah SPT masih bisa dinaikkan lagi.

Maka itu, pemerintah akan memulai sensus pada kuartal ketiga tahun ini bekerjasama pula dengan Badan Pusat Statistik (BPS). Nantinya, Ditjen Pajak akan mengerahkan seluruh 300 kantor pelayanan pajak guna melakukan penyisiran wajib pajak, baik itu di daerah industri maupun pemukiman, pusat perbelanjaan, perkantoran, apartemen, dan sentra-sentra ekonomi. "Kami harapkan setelah sensus, jumlah nomor pokok wajib pajak (NPWP) bisa meningkat," ujarnya. Dengan demikian, penerimaan negara bisa lebih besar di tahun mendatang.

Pengamat perpajakan Darussalam menilai sensus perpajakan nasional pada dasarnya bukan hal baru. Sebab, langkah ini serupa dengan penyisiran pajak kerap dilakukan Ditjen Pajak. "Efektif atau tidak mendorong penerimaan negara, bergantung pada pengawasan pemerintah agar wajib pajak memenuhi kewajibannya," jelasnya.

Selain melakukan sensus, Menkeu juga menegaskan tidak akan melakukan pemutihan terhadap  piutang pajak negara yang belum tertagih.

Namun, pemerintah tetap akan mengkaji mana piutang pajak yang masuk dalam kategori kedaluwarsa, mana yang masuk kategori meragukan, dan mana yang masuk kategori kurang lancar.

Agus menambahkan, proses pemutihan piutang pajak sendiri tidak mudah. Pemerintah mesti melakukan check and recheck yang melibatkan berbagai instansi.

Berdasarkan audit keuangan negara tahun 2010 yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan, negara memiliki tunggakan piutang pajak senilai Rp 70 triliun. Sedang berdasarkan data Ditjen Pajak, nilainya hanya Rp 54 triliun.

Menteri Keuangan Akan Umumkan Daftar Penunggak Pajak


tempointeraktif.com, 1 Juli 2011
TEMPO Interaktif, Jakarta:Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan akan mempublikasikan para nama penunggak pajak apabila masih tetap membandel. "Kalau semua upaya penagihan sudah dilakukan dan sudah melalui proses audit, kami akan publikasikan," ujarnya setelah rapat kerja bersama Komisi Perdagangan Dewan Perwakilan Rakyat, kemarin.

Pernyataan itu dia sampaikan menanggapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyoroti rencana pemerintah melakukan pemutihan piutang pajak senilai Rp 9,45 triliun. Wakil Ketua Komisi Bidang Pencegahan Haryono Umar merekomendasikan Kementerian Keuangan melakukan kajian dan audit secara intensif memberikan pemutihan piutang.

KPK berharap Kementerian Keuangan lebih transparan kepada masyarakat sebelum melakukan pemutihan utang pajak. Komisi berencana merekomendasikan agar daftar nama penunggak pajak diumumkan ke publik terlebih dulu sebelum utang mereka dihapus (Koran Tempo, 30 Juni).

Menteri Agus menjelaskan, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan verifikasi kembali dan mengintensifkan upaya penagihan. Pihaknya akan menggandeng aparat penegak hukum, seperti Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan KPK untuk menjaga kualitas penagihan pajak.

Pemerintah, menurut Agus, tak akan bersikap kompromistis kepada pengemplang pajak. Dia mengingatkan para wajib pajak bahwa pemerintah tak akan memutihkan tunggakan pajak mereka. "Kami akan terus tagih, penunggak pajak jangan merasa piutangnya akan diputihkan," ujarnya.

Agus mengakui saat ini terdapat akumulasi piutang pajak sejak bertahun-tahun lalu. Akumulasi tunggakan itu sedang dikaji mana yang masuk kategori kedaluwarsa, macet, diragukan, dan kurang lancar.

Sebelumnya, dalam laporan auditnya, Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan piutang pajak hingga akhir 2010 mencapai Rp 54 triliun. Dari jumlah itu, terdapat piutang berusia kurang satu tahun sebesar Rp 17,26 triliun, berumur satu-tiga tahun Rp 11 triliun, tiga-lima tahun Rp 7,4 triliun, dan di atas lima tahun Rp 18,2 triliun.

Selain itu, pemerintah melakukan penyisihan piutang pajak macet Rp 9,45 triliun. Ada pula piutang yang telah kedaluwarsa (lebih 10 tahun) sebanyak Rp 2,64 triliun, piutang diusulkan dihapus Rp 202 miliar, dan piutang yang telah dihapus Rp 45,8 miliar.

Anggota Komisi Keuangan DPR, Andi Rahmat, menilai langkah Menteri Keuangan mempublikasikan nama para penunggak pajak bisa jadi menuai pro dan kontra terkait kerahasiaan data wajib pajak. Dia menyarankan pemerintah melakukan upaya paksa badan (gijzeling) terlebih dulu.

Pemerintah bisa mengumumkan siapa saja penunggak pajak yang akan kena gijzeling. "Tindakan gijzeling itu lebih tegas dan kalau penunggak pajak sudah ditangkap, kan pers dan publik juga tahu."

Andi mendukung langkah Menteri Keuangan yang tak akan memutihkan tunggakan pajak. "Bagus itu, karena piutang pajak itu kan dihitung sebagai aset, ia masuk dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara," ujarnya.

Wednesday, 22 June 2011

Revisi insentif pajak bagi industri segera terbit pada Juli 2011


Kontanonline.com, 21 Juni 2011
JAKARTA. Penerbitan Revisi Peraturan Pemerintah (PP) 62 Tahun 2008 tentang Insentif Pajak Penghasilan (PPh) untuk Investasi Bidang Usaha Tertentu dan Wilayah Tertentu sedang dalam proses finalisasi. Saat ini, revisi yang dilakukan tinggal menunggu satu kali rapat para menteri dengan Menko Perekonomian Hatta Rajasa.

Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan, jika rapat dengan Menko sudah digelar, seharusnya penerbitan revisi PP 62/2008 bisa dilakukan secepatnya. "Juli 2011 harus sudah terbit," kata Hidayat, Senin (20/6).

Sekadar catatan, peraturan pemerintah yang berisi insentif pajak bagi industri itu selama ini menjadi janji pemanis bagi investor baik domestik maupun asing yang akan berinvestasi di Indonesia. Sayangnya, kebijakan insentif yang dijanjikan itu belum juga diterbitkan oleh Menteri Keuangan meskipun sudah dibahas sejak awal tahun 2011.

Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Kemenperin, Arryanto Sagala mengatakan dalam revisi aturan itu, Kemenprin mengajukan agar kriteria syarat penerima insentif diperlonggar. "Perlakuan dan syarat yang diterapkan sama untuk investor lokal maupun asing," kata Arryanto.

Revisi PP No 62/2008 menurut Arryanto dilakukan di antaranya pada bagian jenis industri, besarnya investasi, jumlah karyawan dan kriteria persyaratan mendapatkan insentif. Sebagai contoh jumlah karyawan yang dibutuhkan sebelumnya minimal 1.000 orang, dalam revisi yang akan dilakukan jumlah karyawannya minimal 300 orang untuk industri yang banyak menggunakan mesin. Sementara itu ada juga penjelasan untuk besaran investasi awal minimal Rp 50 miliar.

Fasilitas PPh yang dijanjikan pada investor melalui peraturan itu berupa pengurangan penghasilan bersih 30% dari jumlah penanaman modal yang dibebankan selama 6 tahun masing-masing 5% per tahun. Selain itu, masa penyusutan dan amortisasi yang dipercepat kompensasi kerugian dari 5 tahun hingga 10 tahun serta pengenaan PPh dividen yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri sebesar 10%.

Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani mengatakan, Kementerian Perindustrian harus pro aktif membantu Badan Kebijakan Fiskal (BKF) agar mempercepat penerbitan kebijakan insentif itu. "Pembahasan insentif fiskal semestinya rampung akhir Juni ini," kata Franky.

Monday, 20 June 2011

KPK Masih Temukan Kelemahan Sistem Peradilan Pajak


Harian Kontan, 18 Juni 2011
JAKARTA. Kasus mafia pajak nan menghebohkan yang melibatkan bekas pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Pajak Gayus Tambunan sudah lama terungkap. Tapi, ternyata Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum tuntas juga memperbaiki sistem peradilan pajak.

Hal ini terungkap dari hasil kajian Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang masih menemukan banyak kelemahan dalam sistem peradilan pajak.

Direktur Litbang KPK, Doni Muhardiansyah, menyebutkan bahwa hasil kajian yang dilakukan sejak Maret sampai Juni lalu menunjukkan, sistem peradilan pajak masih membuka peluang terjadinya kongkalikong. Kelemahan itu antara lain, pengawasan hakim dan panitera pengadilan pajak yang lemah.

Salah satu tanda kelemahan itu adalah masih belum ada kode etik panitera. Sampai saat ini juga belum ada aturan soal boleh atau tidaknya mantan hakim pengadilan pajak yang bisa menjadi kuasa hukum para wajib pajak. Hal ini membuat para panitera dan hakim masih bisa bermain-main dengan wajib pajak yang bersengketa di pengadilan.

KPK juga masih menemukan pelayanan terkait sengketa pajak yang dilakukan di luar pengadilan. Sistem prasarana di pengadilan juga masih buruk. Misalnya, pengadilan pajak tidak mempublikasikan hasil putusan majelis hakim pengadilan pajak. "Masih banyak kelemahan sistematik," ujar Doni.

KPK pun meminta pemerintah memperbaiki kelemahan di pengadilan pajak tersebut. "Ini harus kami dorong karena pajak menyumbang 70% dari penerimaan negara," katanya.

Kemenkeu janji perbaiki

Hasil kajian dari KPK ini sudah diserahkan kepada Menteri Keuangan Agus Martowardoyo kemarin 17/6). Agus mengakui memang masih ada kelemahan. Sebagai tindak lanjut, Kemenkeu akan memasang kamera CCTV di seluruh ruangan sidang pengadilan pajak, maupun diruang tunggu. Termasuk menyusun kode etik di peradilan pajak.

Agus berjanji segera merespon hasil kajian KPK ini dengan menggelar pertemuan dengan beberapa pihak yang terkait seperti Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY). "Nanti akan ada pertemuan lagi," tuturnya.

Bekas bankir Bank Mandiri itu juga mengaku senang dengan temuan KPK ini. Hasil kajian KPK akan menjadi rujukan perbaikan sistem peradilan pajak.

Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan Sonny Loho juga berjanji kasus serupa Gayus akan dapat diminimalkan dengan adanya upaya perbaikan tersebut.

Pengamat perpajakan dari Universitas Pelita Harapan, Roni Bako mengatakan, perbaikan yang juga perlu dilakukan adalah mengembalikan kekuasaan administratif pengadilan pajak ke MA. Dengan begitu, seluruh hukum acara peradilan pajak bisa disusun MA yang memang mempunyai fungsi yudikatif. Termasuk juga membenahi kemampuan para hakim di pengadilan pajak.

Fungsi Komisi Yudisial sebagai pengawas hakim pengadilan pajak juga menjadi terlihat. Selama ini, KY tidak bisa mengawasi pengadilan pajak karena berada di bawah Kementerian Keuangan. "Jadi ada kerjasama pengawasan yang baik antara pengadilan pajak dengan Komisi Yudisial," imbuh Roni.   

Wednesday, 15 June 2011

Dibidik Korupsi Pajak Disdik


Harian Seputar Indonesia, 14 Juni 2011
RANTAUPRAPAT– Persoalan hukum di Dinas Pendidikan (Disdik) Labuhanbatu sepertinya tidak ada habisnya. Polres Labuhanbatu membidik dugaan korupsi pajak penghasilan (Pph) dan pajak pertambahan nilai (Ppn) senilai Rp2,05 miliar tahun 2008.

Jumlah pajak Pph dan PPn itu ditengarai merupakan penghasilan dari seluruh guru, pegawai dan pajak penggunaan anggaran dan kegiatan anggaran tahun 2008.

Namun ditengarai belum disetorkan pihak Dinas Pendidikan ke kas negara.Akibatnya, uang tersebut tak jelas keberadaanya saat ini. Mengawali penyidikan dugaan korupsi pajak tersebut,Polres Labuhanbatu melalui Sat Reskrim, Unit Ekonomi mulai memeriksaKadis Pendidikan Labuhan batu  Iskandar untuk mengambil keterangan sebagai saksi. ”Kadis pendidikan Labuhanbatu Iskandar sudah diambil keterangannya terkait kasus Pajak Dinas Pendidikan tahun 2008 lalu.Tapi dia hanya sebagai saksi dalam pemeriksaan ini,”ujar Kanit Ekonomi Iptu P Siregar seraya mengarahkan wartawan agar komfirmasi ke Kasat Reskrim AKP Tito Hutauruk.

Berdasar informasi yang dihimpun SINDO, selain kadis pendidikan, penyidik juga telah memeriksa mantan Kadisdik Hariyanto, mantan Sekdakab Labuhanbatu Hasbab Ritonga. Selain itu juga direncanakan akan diperiksajuga mantan Kadisdik Labuhanbatu Jamarin Ginting. Menurut salah seorang pejabat disdik yang tidak bersedia ditulis namanya mengatakan, kasus dugaaan korupsi pajak yang belum disetorkan itu merupakan pajak dari sejumlah kegiatan – kegiatan di Dinas Pendididkan Labuhanbatu.

Di antaranya pajak kegiatan seminar, kegiatan pelatihan bagi guru yang tidak dibayarkan. Namun anehnya, selama ini pihak Inspektorat atau Bawaskab Labuhanbatu selaku pengawas tidak melaporkan dugaan penyelewangan itu hingga terjadi kerugian bagi keuangan negara hingga bertahun- tahun lamanya. Kadis Pendidikan Labuhanbatu Iskandar ketika dikonfirmasi mengakui dirinya telah dimintai keterangan sebagai saksi terkait dugaan pajak Pph dan PPn yang belum disetorkan tahun 2008 lalu.”Saya hanya dimintai keterangan sebagai saksi dalam hal ini.

Lagian saya tidak tahu itu,karena saya masih baru menjabat kadis pendidikan,”ujarnya. Sementara itu,mantan Sekdakab Labuhanbatu Hasban Ritonga mengatakan, dirinya telah dimintai keterangan sebatas saksi. Perlu diketahui sebelum kasus ini muncul, Disdik Labuhanbatu juga didera kasus lainnya. Yakni Dugaan penggelapan dana tunjangan sertifikasi guru senilai Rp2,9 miliar.Kasus ini sendir sudah dilimpahkan berkasnya dari Polres Labuhanbatu ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Rantauprapat.

Ditjen Pajak Bergantung pada 500.000 Wajib Pajak


Harian Kompas, 14 Juni 2011
JAKARTA, KOMPAS - Direktorat Jenderal Pajak menggantungkan diri pada pembayaran 500.000 wajib pajak untuk memenuhi target penerimaan negara yang ditetapkan lebih dari Rp 600 triliun setiap tahunnya. Setoran dari sebagian kecil wajib pajak itu berkontribusi atas 98 persen penerimaan pajak setiap tahunnya.
 
"Itu yang menjadi masalah saat ini. Pada 2010, memang ada 8,5 juta wajib pajak orang pribadi yang melaporkan SPT (surat pemberitahuan tahunan). Namun, hanya 200.000 orang yang berkontribusi atas 98 persen penerimaan pajak,"tutur Dirjen Pajak Fuad Rahmany saat berbicara dalam Rapat Panitia Kerja Rancangan APBN 2012 dengan Badan Anggaran DPR di Jakarta, Senin (13/6).
 
Menurut Fuad, sebagian besar orang terkaya di Indonesia sudah menjadi sasaran penagihan pajak selama ini. Meski demikian, Direktorat Jenderal Pajak meyakini masih ada obyek pajak yang disembunyikan wajib pajak melalui berbagai rekayasa.
 
"Masih ada puluhan juta orang yang belum membayar pajak ,"tuturnya.
 
Menteri Keuangan Agus Darmawan Wintarto Martowardojo menyebutkan, pihaknya mengusulkan agar Ditjen pajak mendapatkan anggaran senilai Rp 5,197 triliun pada 2012, atau sama dengan 2011.
 
Ekonom Anton Gunawan menegaskan, rasio antara penerimaan pajak dan produk domestik Bruto (tax ratio) masih relatif kecil, yakni 12 persen. Hal itu disebabkan sektor informal masih mendominasi dunia usaha Indonesia karena mempekerjakan 70 persen angkatan kerja.
 
"Padahal, 40 persen perekonomian digulirkan oleh sektor informal. Hal ini menyebabkan basis pajak menjadi tidak merata. Ini mengkhawatirkan jika wajib pajak yang menjadi sumber penerimaan pajak bangkrut. Hal itu akan berdampak pada penerimaan pajak,"ujarnya. 

Monday, 13 June 2011

SPPT Ganda Marak di Desa Tak Berpeta


Harian Seputar Indonesia, 11 Juni 2011
PANGKALAN BALAI – Puluhan warga Desa Rimba Alai dan Ujung Tanjung, Kecamatan Banyuasin III, mengadu ke Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Banyuasin. Mereka mengeluhkan terbitnya Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang ditagihkan ganda oleh kepala desa (kades).

Hal itu dipicu akibat kedua desa tersebut belum memiliki peta definitif. Perwakilan Desa Ujung Tanjung Zulkifli mengungkapkan, di perbatasan desa terdapat belasan warga yang ditagih SPPT oleh Kades Rimba Alai. “Padahal, lahan warga masuk dalam wilayah Desa Ujung Tanjung,” ungkap mantan Kades Ujung Tanjung tersebut. Karena itu,kedua kades tersebut akhirnya berselisih paham terkait batas desa.

Zulkifli sendiri mengakui,penyebab masalah ini tak lain karena Desa Ujung Tanjung dan Rimba Alai belum memiliki peta desa definitif. “Peta desa masih peta marga sehingga perbatasan ke dua desa saling tumpang tindih,” ujar dia sambil menambahkan, penagihan SPPT ganda baru terjadi tahun ini,di mana terdapat puluhan lahan di wilayah perbatasan yang wajib SPPT kepada dua kades.

Anggota Dewan dari daerah pemilihan (dapil) Banyuasin III Rizal Priyadi meminta pihak terkait, mulai pemkab,Badan Pertahanan Nasional (BPN),hingga Dinas Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah,menyelesaikan tumpang tindih penagihan SPPT di dua desa tersebut. Anggota Komisi I DPRD Banyuasin M Andrian Agustiansyah berjanji menindaklanjuti keluhan warga dari dua desa ini.

“Kita akan koordinasikan dengan instansi yang bersangkutan.Pekan depan akan dilakukan rapat serta menurunkan tim,”tukas dia.

Pajak Impor Film Dinaikkan 100%


Harian Kontan, 13 Juni 2011
Pengusaha bioskop kuatir, tingginya pajak akan mematikan bisnis mereka

JAKARTA. Kontroversi bea masuk film impor tampaknya akan terus berlanjut. Belum surut polemik soal berapa kisaran pajak yang bisa diterima importir, pemerintah justru memutuskan menaikkan pajak impor film asing sekitar 100%. Sebelumnya, pemerintah menerapkan tarif bea masuk film impor sebesar 23,75% dan royalti senilai 43 sen dollar Amerika Serikat (AS) per rol film.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengatakan, kenaikan pajak film impor untuk melindungi dan menggairahkan industri film lokal. Itu sebabnya, selain menaikkan pajak film impor, pemerintah juga menekan pajak produksi film lokal. Lewat insentif itu, diharapkan poduksi film lokal meningkatkan.

Wacik mengklaim, skema baru ini sudah mendapat persetujuan importir film. "Sebentar lagi akan selesai kepastian atas pajak, tinggal menunggu turunnya surat keputusan Menteri Keuangan," kata Wacik seperti dikutip dari Antara, kemarin.

Menteri Wacik boleh saja mengklaim para importir sudah setuju atas kenaikan pajak tersebut. Namun, Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Joni Syafrudin mengatakan, bila kenaikan itu diberlakukan maka bisnis bioskop dalam negeri akan mati. Soalnya, dengan pajak yang tinggi,  maka importir film asing dipastikan tersendat. Akibatnya, bioskop akan sepi pengunjung, sehingga omzet tergerus.

Menurut Joni, omzet bioskop bisa melorot 20%-60%. Maklum, kehadiran film lokal belum bisa mendongkrak pengunjung bioskop. "Kalau pemerintah tak anggap, bisnis kami bisa tutup, "ujarnya.

Achmad Ferdi, Direktur Penggandaan Film Mitra Lab, mengatakan, kenaikan pajak impor film memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, industri perfilman nasional bakal tumbuh pesat. Tapi di sisi lain, suplai film impor menjadi terbatas. "Bisa jadi harga tiket nonton dibioskop naik," katanya.

Polemik pajak film impor ini berawal dari surat edaran Menteri Keuangan Januari tahun lalu. Melalui surat edaran tersebut, Pemerintah menerapkan bea masuk film impor 23,75% dari royalti US$0,43 sen per rol film, yang diedarkan. Asosiasi film Amerika, Motion Picture Association of America (MPAA) pun proses dan menghentikan peredaran film mereka di Indonesia.    

Friday, 10 June 2011

PLN Menunggak Pajak Rp15,5 Miliar

Harian Seputar Indonesia, 10 Juni 2011
MAKASSAR– PT PLN (Persero) Wilayah VII Makassar menunggak pajak ke Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar sebesar Rp15,5 miliar. Tunggakan pajak tersebut terhitung sejak Januari hingga Juni 2011.

Tunggakan tersebut berasal dari pajak penerangan jalan (PPJ) 10%. Berdasarkan data PLN di empat rayon, pemakaian listrik mencapai 230 kwh dari 210 pelanggan.Total pembayaran pajak dalam hitungan PLN sebesar Rp71 miliar,dipotong pajak penerangan jalan (PPJ) 10% menjadi Rp7,1 miliar. Pihak PLN sudah membayar Rp4 miliar. Dengan begitu, jumlah tunggakan pajak PLN ke pemerintah Rp3,1 miliar per bulan.

Kepala Dispenda Makassar Sabir L Ondo menjelaskan,jika dikalikan dengan lima, nilainya mencapai Rp15,5 miliar. Sisa tunggakan pajak PPJ PLN wajib dibayar ke kas daerah, sebab berdasarkan Undang- Undang (UU) No 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, PLN bukan lagi pengumpul pajak, melainkan berubah menjadi objek pajak. Dalam UU itu disebutkan bahwa PLN dikenakan pajak karena telah menjual energi. Terkait adanya rencana PLN menarik sisa pajak ke masyarakat, dia meminta tidak dilakukan.

Alasannya,masyarakat tidak punya kewajiban membayar pajak PLN sejak Januari 2011 atau diterapkannya Perda No 2/2010 tentang Pajak dan Retribusi Daerah Makassar. “PLN sekarang menjadi objek pajak dan harus membayar ke kas pemkot. Nilainya mencapai Rp15,5 miliar,” ungkapnya.

Sementara itu, GM PT PLN Wilayah VII Makassar Yuyun Mimbar Saputra menjelaskan, pihaknya merasa tidak menunggak pajak, sebab masih mengikuti aturan lama Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) 10/2002 tentang Pemungutan Pajak Penerangan Jalan.

Dalam permendagri tersebut, PLN bukan objek pajak, melainkan pemungut pajak. UU maupun perda pajak dan retribusi daerah yang baru tidak pernah disosialisasikan.Karena itu, sejak Januari 2011, PLN hanya menarik pajak penerangan jalan 7% dengan nominal sekitar Rp4 miliar per bulan.

“Jika pemerintah tetap memaksakan tetap mewajibkan PLN menarik sisa pajak itu, PLN akan menariknya dari masyarakat. Kami juga tidak akan membayar sisa tunggakan,” tandasnya.