Sunday, 12 December 2010

Transfer Pricing

TRANSFER PRICING : APA, KENAPA DAN BAGAIMANA MENGANTISIPASINYA
(Composed by : Hanhan_h@yahoo.com)



DEFINISI TRANSFER PRICING
1. Menurut Charles T.Hongren :
”Transfer price is the price one subunit (department or division) charges for product or service supplied to another subunit of the same organization”
2. Dr. Gunadi :
“Transfer pricing adalah penentuan harga atau imbalan sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, atau pengalihan teknologi antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dan suatu rekayasa manipulasi harga secara sistematis dengan maksud mengurangi laba artifisial, membuat seolah-olah perusahaan rugi, menghindari pajak atau bea di suatu negara”
3. Dirjen Pajak :
“Penetapan harga atas transaksi penyerahan barang berwujud, barang tidak berwujud, atau penyediaan jasa antar pihak yang memiliki hubungan istimewa (transaksi afiliasi)”

Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa transfer pricing adalah hal yang wajar dalam dunia usaha (definisi netral), namun menurut Dr. Gunadi (mantan direktur pemeriksaan pajak) transfer pricing mempunyai konotasi negatif sebagai suatu praktik bisnis yang tidak baik, yaitu pengalihan atas penghasilan kena pajak (taxable income) dari suatu perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan multinasional ke negara-negara yang tarif pajaknya rendah dalam rangka untuk mengurangi total beban pajak dari grup perusahaan multinasional tersebut.

KEPENTINGAN DIRJEN PAJAK
Dirjen Pajak berkepentingan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak tidak menggunakan transaksi afiliasi dan penetapan harga atas transaksi tersebut (transfer pricing) sebagai sarana penghindaran pajak (tax avoidance), karena Transaksi afiliasi tidak selalu mengadopsi kondisi dan syarat yang berlaku di pasar. Untuk itu Dirjen Pajak akan terus mengembangkan program untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak pada saat melakukan transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, sehingga :
a. transfer pricing yang dilakukan oleh wajib pajak sesuai dengan prinsip kewajaran (arm’s length principle)
b. metodologi transfer pricing yang digunakan oleh wajib pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku dan praktik usaha yang lazim yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa;
c. wajib pajak yang bersangkutan dan perusahaan afiliasinya telah membayar pajak sesusai dengan proporsi fungsinya dalam transaksi; serta
d. mendokumentasikan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dalam penentuan harga transaksinya. Untuk itu wajib pajak yang melakukan transaksi afiliasi wajib menyiapkan dokumentasi yang memadai untuk membuktikan bahwa transfer pricing yang dilakukan telah sesuai dengan arm’s length principle (membuat TP Documentation).

PENTINGNYA ISU TRANSFER PRICING DAN BAGAIMANA MENGANTISIPASINYA

Di jaman globalisasi ini, dimana negara Indonesia adalah menjadi bagian dari perekonomian global, hal ini dibuktikan dengan masuknya Indonesia dalam G-20, APEC, WTO dan lainnya, transfer pricing menjadi issu yang penting baik bagi Wajib Pajak maupun otoritas pajak. Karena ketentuan transfer pricing pada akhirnya akan menentukan negara mana yang berhak untuk memajaki laba yang dihasilkan oleh perusahaan yang menjalankan usahanya di lebih dari satu negara.

Menurut OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) bahwa sekitar 60% dari transaksi perdagangan dan keuangan lintas negara (cross border transaction) dilakukan antar perusahaan dalam suatu kelompok perusahaan multinasional, maka menurut Dirjen Pajak dapat disimpulkan bahwa diperkirakan besaran transaksi afiliasi adalah sekitar 60% dari transaksi lintas negara yang terjadi di Indonesia. Sehingga konsekwensi logisnya, Dirjen Pajak sebagai otoritas pajak di Indonesia, menentukan sikap dan posisi untuk merespons perkembangan tersebut dengan menganggap issu tansfer pricing adalah issu yang sangat penting, khususnya terkait dengan aspek perpajakan dari transaksi afiliasi. Hal ini dibuktikan dengan membentuk satuan khusus transfer pricing sejak tahun 2007 dan sudah membekali pemeriksa pajak sebanyak 1.000 orang dengan pengetahuan transfer pricing , sedangkan menurut menkeu 2.000 orang . Selain itu Dirjen Pajak telah menempatkan intel di beberapa negara tax haven country .

Dari sudut pandang Dirjen Pajak, tidak diragukan lagi bahwa tansfer pricing sangat berpengaruh terhadap penerimaan pajak negara. Berdasarkan perhitungan Dirjen Pajak dinyatakan bahwa negara berpotensi telah kehilangan 1.300 Triliun Rupiah akibat dari praktik tranfer pracing . Bahkan lebih dipertegas lagi menurut informasi internal Dirjen Pajak bahwa kehilangan tersebut kebanyakan akibat adanya pembayaran Bunga, Royalti serta Intragroup Service, sehingga Dirjen Pajak percaya bahwa dengan menyetop pembayaran tersebut negara sudah tidak perlu menambah hutang lagi.

Wajib Pajak menganggap penting issu tansfer pricing adalah dibuktikan dengan hasil survey E&Y terkait transfer pricing untuk tahun 2007 yang dipublikasikan pada bulan Februari 2008. Di bawah ini adalah kutipan asli dari hasil survey tersebut :
a. 39% of all respondents identified tansfer pricing as the most important tax issue facing their group, more than any other tax issue.

Table hasil survey E&Y consultant :

No. Tax Issues Percentage
1. Transfer Pricing 39%
2. Tax Planning 32%
3. Double Taxation 9%
4. Value Added Tax 8%
5. Tax Controversy 6%
6. Customs Duties 3%
7. Foreign Tax Credit 3%
TOTAL 100%

b. 74% of parent and 81% of subsidiary resondents believe that transfer pricing will be “absolutely critical” or “very important” to their organizations over the next two years.
c. 65% of parent respondents believe that transfer pricing documentation is more important now than it was two years ago,
d. 2/3 of parent respondents have experienced an increased need for transfer pricing resources in the last three years, with 74% meeting this needs through increased reliance on external advisors

Dari poin-poin hasil survey tersebut tidak bisa dipungkiri bahwa isu transfer pricing bagi wajib pajak sangat benting. Dari poin terakhir hasil survey tersebut menyebutkan bahwa terdapat 2/3 dari total responden telah menyiapkan sumber daya manusia khusus untuk menangani masalah transfer pricing. Hasil survey ini telah diketahui juga oleh Dirjen Pajak, maka dengan fakta itu juga Dirjen Pajak berkepentingan untuk menyiapkan segala perangkat baik SDM, sarana dan satuan khusus untuk menangani masalah tansfer pricing.

Fakta lain yang men-challenge Dirjen Pajak untuk menganggap isu transfer itu menjadi sangat penting adalah adanya statement dari konsultan pajak kelas dunia yang terdapat dalam pedoman transfer pricing Price Water Coopers, bahwa “The Indonesian tax authorities cannot be considered a sophistcated tax authority from a transfer pricing perspective” (international tansfer pricing 2008, PwC, page 410). Statement ini membuat Dirjen Pajak menyadari bahwa kemampuannya selama ini dalam menangani masalah transfer pricing masih belum memadai, hal ini terbukti dengan hasil keputusan banding transfer pricing di pengadilan pajak yang sering kalah.

Selain itu transfer pricing menjadi penting bagi wajib pajak karena setiap Wajib Pajak yang mempunyai transaksi afiliasi diwajibkan mengisi form 3A atau 3B pada SPT badannya, sehingga dari isian form itu Dirjen Pajak akan mudah mengetahui adanya transaksi transfer pricing yang nantinya akan dijadikan bahan pemeriksaan. Meskipun sejak tahun 1993 keharusan itu telah ada, namun mulai tahun 2009 keharusan itu menjadi penting karena format isian form 3A atau 3B lebih detail dan memaksa wajib pajak lebih transparan dalam menginformasikan transfer pricing.

Seperti telah diketahui umum bahwa mulai tahun 2007 Dirjen Pajak telah membenahi diri secara total berkaitan dengan pembenahan sumber daya manusia, penegakan hukum di internal dirjen pajak, pembenahan peraturan dan teknologi informasi. Semua itu akan menggiring Wajib Pajak untuk mau tidak mau harus menjalankan seluruh kewajiban perpajakannya secara benar, sehingga wajib pajak tidak ada celah lagi untuk mengelak dari kewajiban perpajakan.

Dari segi dasar hukum yang berkaitan dengan transfer pricing telah diperkuat dengan masuknya klausul metode penentuan harga transfer pricing dalam batang tubuh Undang-undang PPh, padahal dulunya klausul tersebut hanya terdapat dalam Surat Edaran Pajak. Dasar hukum tersebut ditambahkan dalam UU PPh no 36 pasal 18 ayat 3, yang bunyi selengkapnya sebagai berikut : “Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method) atau metode lainnya”. Selain itu Dirjen Pajak telah membuat aturan internal mereka sendiri untuk dijadikan pedoman bagi pemeriksa pajak dalam melakukan pemeriksaan yang terkait dengan transfer pricing.

Selengkapnya aturan terkait transfer pricing adalah sebagai berikut :
1. Pasal 18 ayat 3 dan 4 UU PPh
2. Pasal 2 ayat 1 dan 2 UU PPN
3. Pasal 28 ayat 1 UU KUP
4. Pasal 9 ayat 1 P3B (tax treaty) model konvensi PBB
5. KEP-01/PJ.7/1993
6. SE-04/PJ.7/1993
7. PER-43/PJ/2010
Sedangkan OECD guideline, APA dan MAP dipakai sebagai acuan dalam kaitannya kalau terjadi perselisihan masalah transfer pricing antar dua negara.

Sesungguhnya amat jelas dengan adanya peraturan-peraturan tersebut bahwa Dirjen Pajak berwenang melakukan penghitungan kembali besarnya nilai penghasilan dan pengurang penghasilan bruto wajib pajak, dalam hal diketahui bahwa penghasilan dan pengurang penghasilan bruto yang dilaporkan wajib pajak dalam SPT Tahunanya tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan prinsip kelaziman usaha, hal ini ditujukan untuk mencegah Wajib Pajak melakukan penghindaran pajak melaui transfer pricing.

Dorongan lain yang menyebabkan Dirjen Pajak concern terhadap isu tansfer pricing ini adalah dengan terus meningkatnya target penerimaan pajak dari tahun ke tahun, dimana tahun 2011 sebesar Rp 839,5 triliun dan 2014 diproyeksikan mencapai 1.400 triliun. Untuk mencapai target itu salah satu usahanya adalah dengan melakukan pemeriksaan terkait transfer pricing. Walaupun demikian isu transfer pricing ini adalah bukan ranah pidana, melainkan hanya membawa konsekwensi denda administrasi pajak biasa yaitu kalau dikoreksi positif maka wajib pajak harus membayar kekurangan bayar pajaknya, namun demikian akan menjadi ranah pidana jika terdapat pemalsuan dokumen.

Setelah memperhatikan betapa pentingnya isu tansfer pricing ini maka tidak bisa dipungkiri lagi Wajib Pajak harus concern terhadap masalah ini dengan cara membenahi diri agar tidak tersandung kasus transfer pricing, yaitu dengan cara melakukan tax review atas kebijakan tansfer pricing selama ini dan melakukan tax planning berkaitan dengan tansfer pricing ke depan serta bersiap diri kalau sewaktu-waktu diperiksa dengan membuat transfer pricing documentation yang lengkap untuk menjustifikasi kewajaran harga transfer pricing yang dilakukan antar perusahaan satu grup baik yang bersifat cross border transaction maupun in bound transaction.

No comments:

Post a Comment