RMOL.Penundaan pengenaan pajak bagi warung Tegal (warteg) di Ibukota Jakarta, dinilai belum melegakan. Sebab, sewaktu-waktu kebijakan ini bisa saja diterapkan. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sepertinya lupa, setiap kenaikan harga barang, terutama bahan makanan sebesar 10 persen, akan menambah tingkat kemiskinan sebesar 3,5 persen.
Hal ini diungkapkan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DKI Jakarta Djan Faridz. “Apakah bisa disebut adil peraturan tersebut? Atau justru peraturan tersebut akan ikut menaikkan tingkat kemiskinan, mengingat yang melakukan konsumsi atas warteg adalah rakyat kecil,” sentil Faridz di Jakarta, kemarin.
Padahal, lanjut Faridz, potensi kehilangan bakal lebih besar dibanding hasil yang didapat. Ibarat pepatah, kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata malah sebaliknya.
“Pertambahan potensi sebesar Rp 50 miliar, jelas tidak signifikan dibanding potensi kehilangan akibat tidak jalannya sistem online. Penerimaan PB1 (pajak bangunan 1-red ) menurut saya akan mencapai tiga kali lipat bila sistem online dijalankan,” urainya.
Sebelumnya diberitakan, setelah dinilai tidak memiliki empati terhadap rakyat miskin, Pemprov DKI Jakarta akhirnya menunda pemberlakuan pungutan pajak sebesar 10 persen terhadap pengusaha warteg. Rancangan ini belum memasuki tahap finalisasi, karena pemprov akan mengembalikan draft rancangan pajak tersebut ke Badan Legislasi Daerah (Balegda).
Menurut Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, keputusan menunda penerapan pajak yang rencananya diberlakukan 1 Januari mendatang, diambil lantaran pemerintah mempertimbangkan efek sosial dan ekonomi yang akan terjadi, jika keputusan tersebut diberlakukan awal tahun ini (Rakyat Merdeka, 8/12).
Bila penerimaan target penerimaan PB1 atas hotel, restoran dan hiburan tahun 2010 yang totalnya sebesar Rp 1,690 triliun, lanjut Faridz, seharusnya dapat terealisasi hingga mencapai angka sebesar Rp 5,070 triliun. Fakta ini dia nilai sangat ironis dan menyedihkan, jika selama sekitar dua tahun sejak sistem online untuk PB1 mulai diperkenalkan, baru terdapat 240 wajib yang berpartisipasi.
Sistem wajib pajak online adalah sistem aplikasi sebagai bagian sistem informasi perpajakan di lingkungan kantor Direktorat Jenderal Pajak berbasis perangkat keras dan perangkat lunak yang dihubungkan perangkat komunikasi data yang digunakan untuk mengelola proses pendaftaran wajib pajak.
Faridz mengaku memahami wacana Pemda DKI untuk mengenakan pajak atas usaha warteg, sepertinya sebagai upaya intensifikasi penerimaan pajak melalui penerimaan pajak daerah.
Sebelumnya, Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Arif Susilo menyatakan, bila pajak warteg diterapkan, potensi pendapatan pajak akan bertambah Rp 50 miliar dengan catatan ada sekitar 2 ribu warteg di Jakarta.
Faridz membandingkan antara potensi penerimaan pajak warteg dengan pajak online apabila diterapkan, yang masing-masing sebesar Rp 50 miliar dan Rp 3,380 triliun potensi kehilangan penerimaan. “Itu hanya 1,48 persen,” katanya.
Masih kata Faridz, dia bukannya tidak setuju atas UU No.28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah yang mengatakan, bagi usaha penyedia makanan dan minuman yang memiliki penghasilan Rp 60 juta per tahun atau sekitar Rp 5 juta per bulan atau sekitar Rp 167 ribu per hari, akan dikenakan pajak 10 persen bagi pengunjung rumah makan tersebut, termasuk warteg.
“Yang perlu dikaji terlebih dahulu adalah siapa konsumen warteg. Jangan bicara keadilan, bila kebijakan yang diambil justru menyengsarakan rakyat. Memang bukan pedagang yang akan membayar pajak tersebut, melainkan si pembeli. Kita tahu, konsumen warteg 95 persennya adalah rakyat kecil yang berpenghasilan rendah atau kalangan menengah ke bawah,” jelasnya.
Faridz mengingatkan, seharusnya pemprov menyadari, masih banyak potensi penerimaan yang sampai sekarang belum digali maksimal seperti pajak hotel, restoran dan hiburan. Penerimaan sektor inilah yang menurutnya harus diintensifkan. Bukan malah sebaliknya, urusan pajak warteg yang jelas tidak terlalu signifikan penerimaannya.
No comments:
Post a Comment