Jakarta, Kompas - DPRD DKI Jakarta meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengkaji ulang rencana pengenaan pajak pada warung makan kecil. Pengenaan pajak itu akan menambah beban pengusaha kecil dan rakyat miskin.
Menurut anggota Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta, Selamat Nurdin, Kamis (2/12) di Jakarta Pusat, revisi Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah tidak diarahkan untuk membebani usaha mikro dan kecil, seperti warung Tegal, warung Padang, dan warung makan yang beromzet kecil. DPRD meminta Pemprov DKI tidak sembarangan memperluas pajak restoran ke warung-warung kecil karena akan membebani usaha informal.
Selain itu, DPRD juga meminta adanya kajian ulang mengenai besaran omzet yang menjadi dasar suatu warung dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPn). Penetapan omzet Rp 60 juta per tahun bagi warung agar dapat dikenai pajak dinilai terlalu rendah dan dapat memukul banyak warung kecil.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi mengatakan, pada 1 Januari 2011, semua warung makan beromzet di atas Rp 60 juta per tahun akan dikenai PPn 10 persen. Perluasan pajak restoran ini diterapkan untuk memenuhi asas keadilan dalam perdagangan makanan dan menambah pendapatan daerah.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Komisi XI DPR dan mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Harry Azhar Azis. Menurut Harry, hanya warung makan beromzet di atas Rp 300 juta yang dapat dikenai pajak restoran.
Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Muhammad Sanusi mengatakan, jika ingin memperbesar penerimaan, Pemprov DKI lebih baik mengintensifkan sistem pajak online dari restoran besar dan hotel. Selama ini, penerimaan dari pajak restoran dan hotel diduga banyak yang bocor karena Dinas Pelayanan Pajak belum berhasil menerapkan sistem online pada semua obyek pajak.
Jika pajak online dapat diintensifkan, penerimaan dari pajak restoran dapat bertambah 40 persen sampai 60 persen. Dalam semester pertama 2010, penerimaan DKI dari pajak restoran mencapai Rp 406.85 miliar.
Berdampak besar
Pengenaan pajak pada warung makan kecil akan berdampak besar terhadap perekonomian mikro dan kecil. Warung makan akan ditinggalkan pelanggannya dan masyarakat kelas bawah harus membayar lebih mahal untuk membeli makanan.
Sekretaris Fraksi PDI-P DPRD DKI Jhonny Simanjuntak mengatakan, jika warteg dan warung makan kecil lain ditinggalkan pelanggan karena dipajaki, belasan ribu orang akan menganggur. Selain itu, perdagangan bahan makanan di pasar tradisional juga akan tersendat karena tidak terserap oleh warung makanan kecil.
”Lebih baik membina warung kecil agar menjadi besar dan baru dikenai pajak. Di sisi lain, pengawasan pajak yang tidak jelas dapat membuat warteg menjadi sasaran pungli oleh oknum petugas pajak yang nakal,” kata Jhonny.
Sudaryatmo dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan, pola pengelolaan warung nasi, termasuk warteg, rata-rata masih tradisional. Penghitungan modal, omzet, dan keuntungan pun tidak pasti seperti pengelolaan restoran modern yang sudah komputerisasi. Hal ini bisa menjadi celah pemerasan dan korupsi pajak.
YLKI merekomendasikan menunda dulu pajak untuk warung nasi sebelum ada penataan, serta pembinaan yang tepat dari pemerintah bagi usaha kecil ini.
Putar otak
Keputusan Pemprov DKI Jakarta untuk memungut pajak pada warung nasi membuat pemilik merasa semakin sulit. Pemilik warung harus memutar otak agar harga tidak dinaikkan dan pelanggan tidak hengkang.
Rahma, pemilik warung nasi di Petojo, Gambir, mengatakan, kenaikan harga bahan makanan saat ini membuat pemilik warung nasi harus memutar otak agar tetap laku.
”Segala cara kami lakukan, seperti mengurangi porsi. Yang penting, harga tidak naik karena pembeli kami termasuk orang dengan pendapatan pas-pasan. Kalau dipajakin, bagaimana lagi strategi dagangnya,” kata Rahma.
No comments:
Post a Comment