Thursday, 30 December 2010
PPh Badan
Yang dimaksud dengan Badan Uasaha adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Mlilik Negara Negara, Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk usaha lainya.
Wednesday, 29 December 2010
PPh
Pajak merupakan pengetahuan yang harus dimiliki oleh setiap Wajib Pajak. Penguasaan terhadap peraturan perpajakan tentu akan meningkatkan kepatuhan kewajiban perpajakan.
Sistem Self assesment memberikan kepercayaan terhadap Wajib Pajak secara penuh untuk menghitng, memotong, dan memperhitungkan, menyeto, dan melaporkan besarnya pajak terutang sesuai dengan peraturan perundang undangan perpajakan. Dalam sistem ini diharapkan Wajib Pajak memiliki kesadaran terhadap kewajibannya, kejujur dalam menghitung pajaknya, memiliki hasrat atau keinginan yang baik untuk menghitung pajak, dan disiplin dalam menjalankan peraturan perundang undangan perpajakan.
PPh adalah Pajak Penghasilan.Untuk di kenakan PPh harus memenuhi 3 kriteria:
1. Penghasilan harus Objek Pajak
2. Penerima Penghasilan adalah Subjek Pajak, baik SPDN (Subjek Pajak Dalam Negeri) maupun SPLN(Subjek Pajak Luar Negeri).
3. Diterima (Cash Basis), atau di peroleh (Acrual Basis) dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Sistem Self assesment memberikan kepercayaan terhadap Wajib Pajak secara penuh untuk menghitng, memotong, dan memperhitungkan, menyeto, dan melaporkan besarnya pajak terutang sesuai dengan peraturan perundang undangan perpajakan. Dalam sistem ini diharapkan Wajib Pajak memiliki kesadaran terhadap kewajibannya, kejujur dalam menghitung pajaknya, memiliki hasrat atau keinginan yang baik untuk menghitung pajak, dan disiplin dalam menjalankan peraturan perundang undangan perpajakan.
PPh adalah Pajak Penghasilan.Untuk di kenakan PPh harus memenuhi 3 kriteria:
1. Penghasilan harus Objek Pajak
2. Penerima Penghasilan adalah Subjek Pajak, baik SPDN (Subjek Pajak Dalam Negeri) maupun SPLN(Subjek Pajak Luar Negeri).
3. Diterima (Cash Basis), atau di peroleh (Acrual Basis) dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Monday, 27 December 2010
Peraturan Baru
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : SE - 138/PJ/2010
TENTANG
PENYAMPAIAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-53/PJ/2010
TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN PERMOHONAN PENGEMBALIAN
KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG BERKAITAN
DENGAN SPTNP ATAU SPKTNP, KEPUTUSAN KEBERATAN, PUTUSAN BANDING, ATAU
PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2010 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang Berkaitan Dengan SPTNP ATAU SPKTNP, Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan ini disampaikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian sebagai berikut:
1. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut adalah untuk jenis pajak PPh Pasal 22 Impor, PPN Impor, dan/atau PPnBM Impor yang tercantum dalam SPTNP atau SKPTNP, SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan Keputusan Keberatan; SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan Keputusan Keberatan dan Putusan Banding; SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali; SPKTNP yang telah diterbitkan Putusan Banding; atau SPKTNP yang telah diterbitkan Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali.
2. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana tersebut dalam angka 1 di atas dapat diajukan dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut.
3. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dinyatakan diterima secara lengkap dalam hal diajukan oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak u.p. Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan (Kepala KPP) dengan ketentuan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b. mengemukakan alasan, jenis, jumlah, dan perhitungan pajak yang diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang;
c. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) SPTNP, 1 (satu) SPKTNP, 1 (satu) Keputusan Keberatan, 1 (satu) Putusan Banding, atau 1 (satu) Putusan Peninjauan Kembali; dan
d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP; dan harus dilampiri:
1) fotokopi dokumen yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak;
2) asli bukti pembayaran pajak; dan
3) surat pernyataan bahwa pajak yang diminta kembali belum dan tidak akan dikreditkan dan/atau dibiayakan. Asli bukti pembayaran pajak dapat berupa Surat Setoran Pajak (SSP), Surat Setoran Bea dan Cukai (SSBC), atau Surat Setoran Pabean, Cukai, Pajak Dalam Rangka Impor (SSPCP).
Terhadap permohonan yang tidak memenuhi ketentuan di atas, Kepala KPP menerbitkan surat permintaan pemenuhan persyaratan dan/atau lampiran permohonan kepada Wajib Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut paling lama 7 (tujuh) hari sejak surat permohonan Wajib Pajak diterima.
4. Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi surat permintaan pemenuhan persyaratan dan/atau lampiran dalam jangka waktu 2 (dua) minggu sejak surat permintaan dikirimkan, Kepala KPP menerbitkan surat pemberitahuan penolakan kepada Wajib Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut paling lama 7 (tujuh) hari sejak jangka waktu 2 (dua) minggu tersebut dilewati.
5. Kepala KPP membuat permintaan konfirmasi kebenaran pembayaran kepada bank atau pemungut dalam hal data pembayaran Wajib Pajak tidak tersedia di Modul Penerimaan Negara (MPN) paling lama 7 (tujuh) hari sejak bukti pembayaran pajak diterima. Dalam hal pembayaran dilakukan melalui Pemungut, konfirmasi kebenaran pembayaran dikirimkan kepada Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terkait.
6. Kepala KPP melakukan permintaan konfirmasi kebenaran dan legalisasi dokumen sesuai Pasal 11 PER-53/PJ/2010 kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dalam hal ini Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerbit dokumen tersebut dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut paling lama 7 (tujuh) hari sejak dokumen tersebut diterima.
7. Dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 6 adalah:
a. fotokopi SPTNP ATAU SPKTNP;
b. fotokopi Keputusan Keberatan;
c. fotokopi salinan Putusan Banding; atau
d. fotokopi salinan Putusan Peninjauan Kembali.
8. Berdasarkan Laporan Penelitian sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut Kepala KPP menerbitkan keputusan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak permohonan dinyatakan diterima secara lengkap.
9. Dalam hal berdasarkan hasil penelitian:
a. tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
b. jawaban konfirmasi belum diterima; dan/atau
c. jawaban konfirmasi adalah "tidak ada" dan/atau "tidak benar'; Kepala KPP menerbitkan surat pemberitahuan penolakan kepada Wajib Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak permohonan dinyatakan diterima secara lengkap.
10. Dalam hal kepada Wajib Pajak diberikan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, asli bukti pembayaran harus diberi tanda dan diparaf untuk menunjukkan bahwa terhadap bukti pembayaran telah diberikan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Asli bukti pembayaran telah diberi tanda dan diparaf tersebut kemudian difotokopi untuk arsip dan kemudian asli bukti pembayaran dikembalikan kepada Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
11. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berupa PPh Pasal 22 Impor, PPN Impor, dan/atau PPnBM Impor yang tercantum dalam:
- SPTNP atau SPKTNP;
- SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan Keputusan Keberatan;
- SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan Keputusan Keberatan dan Putusan Banding;
- SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali;
- SPKTNP yang telah diterbitkan Putusan Banding; atau
- SPKTNP yang telah diterbitkan Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali, yang disampaikan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-53/PJ/2010 namun belum diselesaikan, maka Kepala KPP
a. Menyelesaikan permohonan Wajib Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal PER-53/PJ/2010 diterbitkan.
b. Memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai kekurangan persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 3 dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini diterbitkan.
c. Meminta konfirmasi:
i. bukti pembayaran pajak kepada bank atau pemungut dalam hal data bukti pembayaran Wajib Pajak tidak tersedia di Modul Penerimaan Negara (MPN);
ii. kebenaran dan legalisasi dokumen ketetapan sebagaimana dimaksud pada angka 6 kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai, dalam hal ini Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang menerbitkan dokumen ketetapan; paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini diterbitkan.
12. Tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Desember 2010
Direktur Jenderal,
ttd.
Mochamad Tjiptardjo
NIP 195104281975121002
NOMOR : SE - 138/PJ/2010
TENTANG
PENYAMPAIAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-53/PJ/2010
TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN PERMOHONAN PENGEMBALIAN
KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG BERKAITAN
DENGAN SPTNP ATAU SPKTNP, KEPUTUSAN KEBERATAN, PUTUSAN BANDING, ATAU
PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2010 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang Berkaitan Dengan SPTNP ATAU SPKTNP, Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan ini disampaikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian sebagai berikut:
1. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut adalah untuk jenis pajak PPh Pasal 22 Impor, PPN Impor, dan/atau PPnBM Impor yang tercantum dalam SPTNP atau SKPTNP, SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan Keputusan Keberatan; SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan Keputusan Keberatan dan Putusan Banding; SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali; SPKTNP yang telah diterbitkan Putusan Banding; atau SPKTNP yang telah diterbitkan Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali.
2. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana tersebut dalam angka 1 di atas dapat diajukan dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut.
3. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dinyatakan diterima secara lengkap dalam hal diajukan oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak u.p. Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan (Kepala KPP) dengan ketentuan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b. mengemukakan alasan, jenis, jumlah, dan perhitungan pajak yang diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang;
c. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) SPTNP, 1 (satu) SPKTNP, 1 (satu) Keputusan Keberatan, 1 (satu) Putusan Banding, atau 1 (satu) Putusan Peninjauan Kembali; dan
d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP; dan harus dilampiri:
1) fotokopi dokumen yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak;
2) asli bukti pembayaran pajak; dan
3) surat pernyataan bahwa pajak yang diminta kembali belum dan tidak akan dikreditkan dan/atau dibiayakan. Asli bukti pembayaran pajak dapat berupa Surat Setoran Pajak (SSP), Surat Setoran Bea dan Cukai (SSBC), atau Surat Setoran Pabean, Cukai, Pajak Dalam Rangka Impor (SSPCP).
Terhadap permohonan yang tidak memenuhi ketentuan di atas, Kepala KPP menerbitkan surat permintaan pemenuhan persyaratan dan/atau lampiran permohonan kepada Wajib Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut paling lama 7 (tujuh) hari sejak surat permohonan Wajib Pajak diterima.
4. Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi surat permintaan pemenuhan persyaratan dan/atau lampiran dalam jangka waktu 2 (dua) minggu sejak surat permintaan dikirimkan, Kepala KPP menerbitkan surat pemberitahuan penolakan kepada Wajib Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut paling lama 7 (tujuh) hari sejak jangka waktu 2 (dua) minggu tersebut dilewati.
5. Kepala KPP membuat permintaan konfirmasi kebenaran pembayaran kepada bank atau pemungut dalam hal data pembayaran Wajib Pajak tidak tersedia di Modul Penerimaan Negara (MPN) paling lama 7 (tujuh) hari sejak bukti pembayaran pajak diterima. Dalam hal pembayaran dilakukan melalui Pemungut, konfirmasi kebenaran pembayaran dikirimkan kepada Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terkait.
6. Kepala KPP melakukan permintaan konfirmasi kebenaran dan legalisasi dokumen sesuai Pasal 11 PER-53/PJ/2010 kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dalam hal ini Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerbit dokumen tersebut dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut paling lama 7 (tujuh) hari sejak dokumen tersebut diterima.
7. Dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 6 adalah:
a. fotokopi SPTNP ATAU SPKTNP;
b. fotokopi Keputusan Keberatan;
c. fotokopi salinan Putusan Banding; atau
d. fotokopi salinan Putusan Peninjauan Kembali.
8. Berdasarkan Laporan Penelitian sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut Kepala KPP menerbitkan keputusan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak permohonan dinyatakan diterima secara lengkap.
9. Dalam hal berdasarkan hasil penelitian:
a. tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
b. jawaban konfirmasi belum diterima; dan/atau
c. jawaban konfirmasi adalah "tidak ada" dan/atau "tidak benar'; Kepala KPP menerbitkan surat pemberitahuan penolakan kepada Wajib Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak permohonan dinyatakan diterima secara lengkap.
10. Dalam hal kepada Wajib Pajak diberikan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, asli bukti pembayaran harus diberi tanda dan diparaf untuk menunjukkan bahwa terhadap bukti pembayaran telah diberikan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Asli bukti pembayaran telah diberi tanda dan diparaf tersebut kemudian difotokopi untuk arsip dan kemudian asli bukti pembayaran dikembalikan kepada Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
11. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berupa PPh Pasal 22 Impor, PPN Impor, dan/atau PPnBM Impor yang tercantum dalam:
- SPTNP atau SPKTNP;
- SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan Keputusan Keberatan;
- SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan Keputusan Keberatan dan Putusan Banding;
- SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali;
- SPKTNP yang telah diterbitkan Putusan Banding; atau
- SPKTNP yang telah diterbitkan Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali, yang disampaikan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-53/PJ/2010 namun belum diselesaikan, maka Kepala KPP
a. Menyelesaikan permohonan Wajib Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal PER-53/PJ/2010 diterbitkan.
b. Memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai kekurangan persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 3 dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini diterbitkan.
c. Meminta konfirmasi:
i. bukti pembayaran pajak kepada bank atau pemungut dalam hal data bukti pembayaran Wajib Pajak tidak tersedia di Modul Penerimaan Negara (MPN);
ii. kebenaran dan legalisasi dokumen ketetapan sebagaimana dimaksud pada angka 6 kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai, dalam hal ini Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang menerbitkan dokumen ketetapan; paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini diterbitkan.
12. Tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Desember 2010
Direktur Jenderal,
ttd.
Mochamad Tjiptardjo
NIP 195104281975121002
Sunday, 12 December 2010
PTKP
PERBANDINGAN PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK BARU DENGAN SEKARANG
Ketentuan Sekarang (Sampai dengan 31 Desember 2008) :
KMK Nomor: 137/PMK.03/2005
• Diri Sendiri Rp.13,2 juta
• Tambahan WP Kawin Rp. 1,2 juta
• Tambahan Istri Bekerja Rp.13,2 juta
• Tambahan Tanggungan Rp. 1,2 juta
(Maksimal 3 orang)
Keputusan Perubahan (Mulai Berlaku 1 Januari 2009):
• Diri Sendiri Rp. 15,84 juta
• Tambahan WP Kawin Rp. 1,32 juta
• Tambahan Istri Bekerja Rp. 15,84 juta
• Tambahan Tanggungan Rp. 1,32 juta
(Maksimal 3 orang)
Ketentuan Sekarang (Sampai dengan 31 Desember 2008) :
KMK Nomor: 137/PMK.03/2005
• Diri Sendiri Rp.13,2 juta
• Tambahan WP Kawin Rp. 1,2 juta
• Tambahan Istri Bekerja Rp.13,2 juta
• Tambahan Tanggungan Rp. 1,2 juta
(Maksimal 3 orang)
Keputusan Perubahan (Mulai Berlaku 1 Januari 2009):
• Diri Sendiri Rp. 15,84 juta
• Tambahan WP Kawin Rp. 1,32 juta
• Tambahan Istri Bekerja Rp. 15,84 juta
• Tambahan Tanggungan Rp. 1,32 juta
(Maksimal 3 orang)
Transfer Pricing
TRANSFER PRICING : APA, KENAPA DAN BAGAIMANA MENGANTISIPASINYA
(Composed by : Hanhan_h@yahoo.com)
DEFINISI TRANSFER PRICING
1. Menurut Charles T.Hongren :
”Transfer price is the price one subunit (department or division) charges for product or service supplied to another subunit of the same organization”
2. Dr. Gunadi :
“Transfer pricing adalah penentuan harga atau imbalan sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, atau pengalihan teknologi antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dan suatu rekayasa manipulasi harga secara sistematis dengan maksud mengurangi laba artifisial, membuat seolah-olah perusahaan rugi, menghindari pajak atau bea di suatu negara”
3. Dirjen Pajak :
“Penetapan harga atas transaksi penyerahan barang berwujud, barang tidak berwujud, atau penyediaan jasa antar pihak yang memiliki hubungan istimewa (transaksi afiliasi)”
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa transfer pricing adalah hal yang wajar dalam dunia usaha (definisi netral), namun menurut Dr. Gunadi (mantan direktur pemeriksaan pajak) transfer pricing mempunyai konotasi negatif sebagai suatu praktik bisnis yang tidak baik, yaitu pengalihan atas penghasilan kena pajak (taxable income) dari suatu perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan multinasional ke negara-negara yang tarif pajaknya rendah dalam rangka untuk mengurangi total beban pajak dari grup perusahaan multinasional tersebut.
KEPENTINGAN DIRJEN PAJAK
Dirjen Pajak berkepentingan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak tidak menggunakan transaksi afiliasi dan penetapan harga atas transaksi tersebut (transfer pricing) sebagai sarana penghindaran pajak (tax avoidance), karena Transaksi afiliasi tidak selalu mengadopsi kondisi dan syarat yang berlaku di pasar. Untuk itu Dirjen Pajak akan terus mengembangkan program untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak pada saat melakukan transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, sehingga :
a. transfer pricing yang dilakukan oleh wajib pajak sesuai dengan prinsip kewajaran (arm’s length principle)
b. metodologi transfer pricing yang digunakan oleh wajib pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku dan praktik usaha yang lazim yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa;
c. wajib pajak yang bersangkutan dan perusahaan afiliasinya telah membayar pajak sesusai dengan proporsi fungsinya dalam transaksi; serta
d. mendokumentasikan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dalam penentuan harga transaksinya. Untuk itu wajib pajak yang melakukan transaksi afiliasi wajib menyiapkan dokumentasi yang memadai untuk membuktikan bahwa transfer pricing yang dilakukan telah sesuai dengan arm’s length principle (membuat TP Documentation).
PENTINGNYA ISU TRANSFER PRICING DAN BAGAIMANA MENGANTISIPASINYA
Di jaman globalisasi ini, dimana negara Indonesia adalah menjadi bagian dari perekonomian global, hal ini dibuktikan dengan masuknya Indonesia dalam G-20, APEC, WTO dan lainnya, transfer pricing menjadi issu yang penting baik bagi Wajib Pajak maupun otoritas pajak. Karena ketentuan transfer pricing pada akhirnya akan menentukan negara mana yang berhak untuk memajaki laba yang dihasilkan oleh perusahaan yang menjalankan usahanya di lebih dari satu negara.
Menurut OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) bahwa sekitar 60% dari transaksi perdagangan dan keuangan lintas negara (cross border transaction) dilakukan antar perusahaan dalam suatu kelompok perusahaan multinasional, maka menurut Dirjen Pajak dapat disimpulkan bahwa diperkirakan besaran transaksi afiliasi adalah sekitar 60% dari transaksi lintas negara yang terjadi di Indonesia. Sehingga konsekwensi logisnya, Dirjen Pajak sebagai otoritas pajak di Indonesia, menentukan sikap dan posisi untuk merespons perkembangan tersebut dengan menganggap issu tansfer pricing adalah issu yang sangat penting, khususnya terkait dengan aspek perpajakan dari transaksi afiliasi. Hal ini dibuktikan dengan membentuk satuan khusus transfer pricing sejak tahun 2007 dan sudah membekali pemeriksa pajak sebanyak 1.000 orang dengan pengetahuan transfer pricing , sedangkan menurut menkeu 2.000 orang . Selain itu Dirjen Pajak telah menempatkan intel di beberapa negara tax haven country .
Dari sudut pandang Dirjen Pajak, tidak diragukan lagi bahwa tansfer pricing sangat berpengaruh terhadap penerimaan pajak negara. Berdasarkan perhitungan Dirjen Pajak dinyatakan bahwa negara berpotensi telah kehilangan 1.300 Triliun Rupiah akibat dari praktik tranfer pracing . Bahkan lebih dipertegas lagi menurut informasi internal Dirjen Pajak bahwa kehilangan tersebut kebanyakan akibat adanya pembayaran Bunga, Royalti serta Intragroup Service, sehingga Dirjen Pajak percaya bahwa dengan menyetop pembayaran tersebut negara sudah tidak perlu menambah hutang lagi.
Wajib Pajak menganggap penting issu tansfer pricing adalah dibuktikan dengan hasil survey E&Y terkait transfer pricing untuk tahun 2007 yang dipublikasikan pada bulan Februari 2008. Di bawah ini adalah kutipan asli dari hasil survey tersebut :
a. 39% of all respondents identified tansfer pricing as the most important tax issue facing their group, more than any other tax issue.
Table hasil survey E&Y consultant :
No. Tax Issues Percentage
1. Transfer Pricing 39%
2. Tax Planning 32%
3. Double Taxation 9%
4. Value Added Tax 8%
5. Tax Controversy 6%
6. Customs Duties 3%
7. Foreign Tax Credit 3%
TOTAL 100%
b. 74% of parent and 81% of subsidiary resondents believe that transfer pricing will be “absolutely critical” or “very important” to their organizations over the next two years.
c. 65% of parent respondents believe that transfer pricing documentation is more important now than it was two years ago,
d. 2/3 of parent respondents have experienced an increased need for transfer pricing resources in the last three years, with 74% meeting this needs through increased reliance on external advisors
Dari poin-poin hasil survey tersebut tidak bisa dipungkiri bahwa isu transfer pricing bagi wajib pajak sangat benting. Dari poin terakhir hasil survey tersebut menyebutkan bahwa terdapat 2/3 dari total responden telah menyiapkan sumber daya manusia khusus untuk menangani masalah transfer pricing. Hasil survey ini telah diketahui juga oleh Dirjen Pajak, maka dengan fakta itu juga Dirjen Pajak berkepentingan untuk menyiapkan segala perangkat baik SDM, sarana dan satuan khusus untuk menangani masalah tansfer pricing.
Fakta lain yang men-challenge Dirjen Pajak untuk menganggap isu transfer itu menjadi sangat penting adalah adanya statement dari konsultan pajak kelas dunia yang terdapat dalam pedoman transfer pricing Price Water Coopers, bahwa “The Indonesian tax authorities cannot be considered a sophistcated tax authority from a transfer pricing perspective” (international tansfer pricing 2008, PwC, page 410). Statement ini membuat Dirjen Pajak menyadari bahwa kemampuannya selama ini dalam menangani masalah transfer pricing masih belum memadai, hal ini terbukti dengan hasil keputusan banding transfer pricing di pengadilan pajak yang sering kalah.
Selain itu transfer pricing menjadi penting bagi wajib pajak karena setiap Wajib Pajak yang mempunyai transaksi afiliasi diwajibkan mengisi form 3A atau 3B pada SPT badannya, sehingga dari isian form itu Dirjen Pajak akan mudah mengetahui adanya transaksi transfer pricing yang nantinya akan dijadikan bahan pemeriksaan. Meskipun sejak tahun 1993 keharusan itu telah ada, namun mulai tahun 2009 keharusan itu menjadi penting karena format isian form 3A atau 3B lebih detail dan memaksa wajib pajak lebih transparan dalam menginformasikan transfer pricing.
Seperti telah diketahui umum bahwa mulai tahun 2007 Dirjen Pajak telah membenahi diri secara total berkaitan dengan pembenahan sumber daya manusia, penegakan hukum di internal dirjen pajak, pembenahan peraturan dan teknologi informasi. Semua itu akan menggiring Wajib Pajak untuk mau tidak mau harus menjalankan seluruh kewajiban perpajakannya secara benar, sehingga wajib pajak tidak ada celah lagi untuk mengelak dari kewajiban perpajakan.
Dari segi dasar hukum yang berkaitan dengan transfer pricing telah diperkuat dengan masuknya klausul metode penentuan harga transfer pricing dalam batang tubuh Undang-undang PPh, padahal dulunya klausul tersebut hanya terdapat dalam Surat Edaran Pajak. Dasar hukum tersebut ditambahkan dalam UU PPh no 36 pasal 18 ayat 3, yang bunyi selengkapnya sebagai berikut : “Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method) atau metode lainnya”. Selain itu Dirjen Pajak telah membuat aturan internal mereka sendiri untuk dijadikan pedoman bagi pemeriksa pajak dalam melakukan pemeriksaan yang terkait dengan transfer pricing.
Selengkapnya aturan terkait transfer pricing adalah sebagai berikut :
1. Pasal 18 ayat 3 dan 4 UU PPh
2. Pasal 2 ayat 1 dan 2 UU PPN
3. Pasal 28 ayat 1 UU KUP
4. Pasal 9 ayat 1 P3B (tax treaty) model konvensi PBB
5. KEP-01/PJ.7/1993
6. SE-04/PJ.7/1993
7. PER-43/PJ/2010
Sedangkan OECD guideline, APA dan MAP dipakai sebagai acuan dalam kaitannya kalau terjadi perselisihan masalah transfer pricing antar dua negara.
Sesungguhnya amat jelas dengan adanya peraturan-peraturan tersebut bahwa Dirjen Pajak berwenang melakukan penghitungan kembali besarnya nilai penghasilan dan pengurang penghasilan bruto wajib pajak, dalam hal diketahui bahwa penghasilan dan pengurang penghasilan bruto yang dilaporkan wajib pajak dalam SPT Tahunanya tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan prinsip kelaziman usaha, hal ini ditujukan untuk mencegah Wajib Pajak melakukan penghindaran pajak melaui transfer pricing.
Dorongan lain yang menyebabkan Dirjen Pajak concern terhadap isu tansfer pricing ini adalah dengan terus meningkatnya target penerimaan pajak dari tahun ke tahun, dimana tahun 2011 sebesar Rp 839,5 triliun dan 2014 diproyeksikan mencapai 1.400 triliun. Untuk mencapai target itu salah satu usahanya adalah dengan melakukan pemeriksaan terkait transfer pricing. Walaupun demikian isu transfer pricing ini adalah bukan ranah pidana, melainkan hanya membawa konsekwensi denda administrasi pajak biasa yaitu kalau dikoreksi positif maka wajib pajak harus membayar kekurangan bayar pajaknya, namun demikian akan menjadi ranah pidana jika terdapat pemalsuan dokumen.
Setelah memperhatikan betapa pentingnya isu tansfer pricing ini maka tidak bisa dipungkiri lagi Wajib Pajak harus concern terhadap masalah ini dengan cara membenahi diri agar tidak tersandung kasus transfer pricing, yaitu dengan cara melakukan tax review atas kebijakan tansfer pricing selama ini dan melakukan tax planning berkaitan dengan tansfer pricing ke depan serta bersiap diri kalau sewaktu-waktu diperiksa dengan membuat transfer pricing documentation yang lengkap untuk menjustifikasi kewajaran harga transfer pricing yang dilakukan antar perusahaan satu grup baik yang bersifat cross border transaction maupun in bound transaction.
(Composed by : Hanhan_h@yahoo.com)
DEFINISI TRANSFER PRICING
1. Menurut Charles T.Hongren :
”Transfer price is the price one subunit (department or division) charges for product or service supplied to another subunit of the same organization”
2. Dr. Gunadi :
“Transfer pricing adalah penentuan harga atau imbalan sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, atau pengalihan teknologi antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dan suatu rekayasa manipulasi harga secara sistematis dengan maksud mengurangi laba artifisial, membuat seolah-olah perusahaan rugi, menghindari pajak atau bea di suatu negara”
3. Dirjen Pajak :
“Penetapan harga atas transaksi penyerahan barang berwujud, barang tidak berwujud, atau penyediaan jasa antar pihak yang memiliki hubungan istimewa (transaksi afiliasi)”
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa transfer pricing adalah hal yang wajar dalam dunia usaha (definisi netral), namun menurut Dr. Gunadi (mantan direktur pemeriksaan pajak) transfer pricing mempunyai konotasi negatif sebagai suatu praktik bisnis yang tidak baik, yaitu pengalihan atas penghasilan kena pajak (taxable income) dari suatu perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan multinasional ke negara-negara yang tarif pajaknya rendah dalam rangka untuk mengurangi total beban pajak dari grup perusahaan multinasional tersebut.
KEPENTINGAN DIRJEN PAJAK
Dirjen Pajak berkepentingan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak tidak menggunakan transaksi afiliasi dan penetapan harga atas transaksi tersebut (transfer pricing) sebagai sarana penghindaran pajak (tax avoidance), karena Transaksi afiliasi tidak selalu mengadopsi kondisi dan syarat yang berlaku di pasar. Untuk itu Dirjen Pajak akan terus mengembangkan program untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak pada saat melakukan transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, sehingga :
a. transfer pricing yang dilakukan oleh wajib pajak sesuai dengan prinsip kewajaran (arm’s length principle)
b. metodologi transfer pricing yang digunakan oleh wajib pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku dan praktik usaha yang lazim yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa;
c. wajib pajak yang bersangkutan dan perusahaan afiliasinya telah membayar pajak sesusai dengan proporsi fungsinya dalam transaksi; serta
d. mendokumentasikan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dalam penentuan harga transaksinya. Untuk itu wajib pajak yang melakukan transaksi afiliasi wajib menyiapkan dokumentasi yang memadai untuk membuktikan bahwa transfer pricing yang dilakukan telah sesuai dengan arm’s length principle (membuat TP Documentation).
PENTINGNYA ISU TRANSFER PRICING DAN BAGAIMANA MENGANTISIPASINYA
Di jaman globalisasi ini, dimana negara Indonesia adalah menjadi bagian dari perekonomian global, hal ini dibuktikan dengan masuknya Indonesia dalam G-20, APEC, WTO dan lainnya, transfer pricing menjadi issu yang penting baik bagi Wajib Pajak maupun otoritas pajak. Karena ketentuan transfer pricing pada akhirnya akan menentukan negara mana yang berhak untuk memajaki laba yang dihasilkan oleh perusahaan yang menjalankan usahanya di lebih dari satu negara.
Menurut OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) bahwa sekitar 60% dari transaksi perdagangan dan keuangan lintas negara (cross border transaction) dilakukan antar perusahaan dalam suatu kelompok perusahaan multinasional, maka menurut Dirjen Pajak dapat disimpulkan bahwa diperkirakan besaran transaksi afiliasi adalah sekitar 60% dari transaksi lintas negara yang terjadi di Indonesia. Sehingga konsekwensi logisnya, Dirjen Pajak sebagai otoritas pajak di Indonesia, menentukan sikap dan posisi untuk merespons perkembangan tersebut dengan menganggap issu tansfer pricing adalah issu yang sangat penting, khususnya terkait dengan aspek perpajakan dari transaksi afiliasi. Hal ini dibuktikan dengan membentuk satuan khusus transfer pricing sejak tahun 2007 dan sudah membekali pemeriksa pajak sebanyak 1.000 orang dengan pengetahuan transfer pricing , sedangkan menurut menkeu 2.000 orang . Selain itu Dirjen Pajak telah menempatkan intel di beberapa negara tax haven country .
Dari sudut pandang Dirjen Pajak, tidak diragukan lagi bahwa tansfer pricing sangat berpengaruh terhadap penerimaan pajak negara. Berdasarkan perhitungan Dirjen Pajak dinyatakan bahwa negara berpotensi telah kehilangan 1.300 Triliun Rupiah akibat dari praktik tranfer pracing . Bahkan lebih dipertegas lagi menurut informasi internal Dirjen Pajak bahwa kehilangan tersebut kebanyakan akibat adanya pembayaran Bunga, Royalti serta Intragroup Service, sehingga Dirjen Pajak percaya bahwa dengan menyetop pembayaran tersebut negara sudah tidak perlu menambah hutang lagi.
Wajib Pajak menganggap penting issu tansfer pricing adalah dibuktikan dengan hasil survey E&Y terkait transfer pricing untuk tahun 2007 yang dipublikasikan pada bulan Februari 2008. Di bawah ini adalah kutipan asli dari hasil survey tersebut :
a. 39% of all respondents identified tansfer pricing as the most important tax issue facing their group, more than any other tax issue.
Table hasil survey E&Y consultant :
No. Tax Issues Percentage
1. Transfer Pricing 39%
2. Tax Planning 32%
3. Double Taxation 9%
4. Value Added Tax 8%
5. Tax Controversy 6%
6. Customs Duties 3%
7. Foreign Tax Credit 3%
TOTAL 100%
b. 74% of parent and 81% of subsidiary resondents believe that transfer pricing will be “absolutely critical” or “very important” to their organizations over the next two years.
c. 65% of parent respondents believe that transfer pricing documentation is more important now than it was two years ago,
d. 2/3 of parent respondents have experienced an increased need for transfer pricing resources in the last three years, with 74% meeting this needs through increased reliance on external advisors
Dari poin-poin hasil survey tersebut tidak bisa dipungkiri bahwa isu transfer pricing bagi wajib pajak sangat benting. Dari poin terakhir hasil survey tersebut menyebutkan bahwa terdapat 2/3 dari total responden telah menyiapkan sumber daya manusia khusus untuk menangani masalah transfer pricing. Hasil survey ini telah diketahui juga oleh Dirjen Pajak, maka dengan fakta itu juga Dirjen Pajak berkepentingan untuk menyiapkan segala perangkat baik SDM, sarana dan satuan khusus untuk menangani masalah tansfer pricing.
Fakta lain yang men-challenge Dirjen Pajak untuk menganggap isu transfer itu menjadi sangat penting adalah adanya statement dari konsultan pajak kelas dunia yang terdapat dalam pedoman transfer pricing Price Water Coopers, bahwa “The Indonesian tax authorities cannot be considered a sophistcated tax authority from a transfer pricing perspective” (international tansfer pricing 2008, PwC, page 410). Statement ini membuat Dirjen Pajak menyadari bahwa kemampuannya selama ini dalam menangani masalah transfer pricing masih belum memadai, hal ini terbukti dengan hasil keputusan banding transfer pricing di pengadilan pajak yang sering kalah.
Selain itu transfer pricing menjadi penting bagi wajib pajak karena setiap Wajib Pajak yang mempunyai transaksi afiliasi diwajibkan mengisi form 3A atau 3B pada SPT badannya, sehingga dari isian form itu Dirjen Pajak akan mudah mengetahui adanya transaksi transfer pricing yang nantinya akan dijadikan bahan pemeriksaan. Meskipun sejak tahun 1993 keharusan itu telah ada, namun mulai tahun 2009 keharusan itu menjadi penting karena format isian form 3A atau 3B lebih detail dan memaksa wajib pajak lebih transparan dalam menginformasikan transfer pricing.
Seperti telah diketahui umum bahwa mulai tahun 2007 Dirjen Pajak telah membenahi diri secara total berkaitan dengan pembenahan sumber daya manusia, penegakan hukum di internal dirjen pajak, pembenahan peraturan dan teknologi informasi. Semua itu akan menggiring Wajib Pajak untuk mau tidak mau harus menjalankan seluruh kewajiban perpajakannya secara benar, sehingga wajib pajak tidak ada celah lagi untuk mengelak dari kewajiban perpajakan.
Dari segi dasar hukum yang berkaitan dengan transfer pricing telah diperkuat dengan masuknya klausul metode penentuan harga transfer pricing dalam batang tubuh Undang-undang PPh, padahal dulunya klausul tersebut hanya terdapat dalam Surat Edaran Pajak. Dasar hukum tersebut ditambahkan dalam UU PPh no 36 pasal 18 ayat 3, yang bunyi selengkapnya sebagai berikut : “Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method) atau metode lainnya”. Selain itu Dirjen Pajak telah membuat aturan internal mereka sendiri untuk dijadikan pedoman bagi pemeriksa pajak dalam melakukan pemeriksaan yang terkait dengan transfer pricing.
Selengkapnya aturan terkait transfer pricing adalah sebagai berikut :
1. Pasal 18 ayat 3 dan 4 UU PPh
2. Pasal 2 ayat 1 dan 2 UU PPN
3. Pasal 28 ayat 1 UU KUP
4. Pasal 9 ayat 1 P3B (tax treaty) model konvensi PBB
5. KEP-01/PJ.7/1993
6. SE-04/PJ.7/1993
7. PER-43/PJ/2010
Sedangkan OECD guideline, APA dan MAP dipakai sebagai acuan dalam kaitannya kalau terjadi perselisihan masalah transfer pricing antar dua negara.
Sesungguhnya amat jelas dengan adanya peraturan-peraturan tersebut bahwa Dirjen Pajak berwenang melakukan penghitungan kembali besarnya nilai penghasilan dan pengurang penghasilan bruto wajib pajak, dalam hal diketahui bahwa penghasilan dan pengurang penghasilan bruto yang dilaporkan wajib pajak dalam SPT Tahunanya tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan prinsip kelaziman usaha, hal ini ditujukan untuk mencegah Wajib Pajak melakukan penghindaran pajak melaui transfer pricing.
Dorongan lain yang menyebabkan Dirjen Pajak concern terhadap isu tansfer pricing ini adalah dengan terus meningkatnya target penerimaan pajak dari tahun ke tahun, dimana tahun 2011 sebesar Rp 839,5 triliun dan 2014 diproyeksikan mencapai 1.400 triliun. Untuk mencapai target itu salah satu usahanya adalah dengan melakukan pemeriksaan terkait transfer pricing. Walaupun demikian isu transfer pricing ini adalah bukan ranah pidana, melainkan hanya membawa konsekwensi denda administrasi pajak biasa yaitu kalau dikoreksi positif maka wajib pajak harus membayar kekurangan bayar pajaknya, namun demikian akan menjadi ranah pidana jika terdapat pemalsuan dokumen.
Setelah memperhatikan betapa pentingnya isu tansfer pricing ini maka tidak bisa dipungkiri lagi Wajib Pajak harus concern terhadap masalah ini dengan cara membenahi diri agar tidak tersandung kasus transfer pricing, yaitu dengan cara melakukan tax review atas kebijakan tansfer pricing selama ini dan melakukan tax planning berkaitan dengan tansfer pricing ke depan serta bersiap diri kalau sewaktu-waktu diperiksa dengan membuat transfer pricing documentation yang lengkap untuk menjustifikasi kewajaran harga transfer pricing yang dilakukan antar perusahaan satu grup baik yang bersifat cross border transaction maupun in bound transaction.
Friday, 10 December 2010
Seputar Pajak Warteg
RMOL.Penundaan pengenaan pajak bagi warung Tegal (warteg) di Ibukota Jakarta, dinilai belum melegakan. Sebab, sewaktu-waktu kebijakan ini bisa saja diterapkan. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sepertinya lupa, setiap kenaikan harga barang, terutama bahan makanan sebesar 10 persen, akan menambah tingkat kemiskinan sebesar 3,5 persen.
Hal ini diungkapkan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DKI Jakarta Djan Faridz. “Apakah bisa disebut adil peraturan tersebut? Atau justru peraturan tersebut akan ikut menaikkan tingkat kemiskinan, mengingat yang melakukan konsumsi atas warteg adalah rakyat kecil,” sentil Faridz di Jakarta, kemarin.
Padahal, lanjut Faridz, potensi kehilangan bakal lebih besar dibanding hasil yang didapat. Ibarat pepatah, kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata malah sebaliknya.
“Pertambahan potensi sebesar Rp 50 miliar, jelas tidak signifikan dibanding potensi kehilangan akibat tidak jalannya sistem online. Penerimaan PB1 (pajak bangunan 1-red ) menurut saya akan mencapai tiga kali lipat bila sistem online dijalankan,” urainya.
Sebelumnya diberitakan, setelah dinilai tidak memiliki empati terhadap rakyat miskin, Pemprov DKI Jakarta akhirnya menunda pemberlakuan pungutan pajak sebesar 10 persen terhadap pengusaha warteg. Rancangan ini belum memasuki tahap finalisasi, karena pemprov akan mengembalikan draft rancangan pajak tersebut ke Badan Legislasi Daerah (Balegda).
Menurut Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, keputusan menunda penerapan pajak yang rencananya diberlakukan 1 Januari mendatang, diambil lantaran pemerintah mempertimbangkan efek sosial dan ekonomi yang akan terjadi, jika keputusan tersebut diberlakukan awal tahun ini (Rakyat Merdeka, 8/12).
Bila penerimaan target penerimaan PB1 atas hotel, restoran dan hiburan tahun 2010 yang totalnya sebesar Rp 1,690 triliun, lanjut Faridz, seharusnya dapat terealisasi hingga mencapai angka sebesar Rp 5,070 triliun. Fakta ini dia nilai sangat ironis dan menyedihkan, jika selama sekitar dua tahun sejak sistem online untuk PB1 mulai diperkenalkan, baru terdapat 240 wajib yang berpartisipasi.
Sistem wajib pajak online adalah sistem aplikasi sebagai bagian sistem informasi perpajakan di lingkungan kantor Direktorat Jenderal Pajak berbasis perangkat keras dan perangkat lunak yang dihubungkan perangkat komunikasi data yang digunakan untuk mengelola proses pendaftaran wajib pajak.
Faridz mengaku memahami wacana Pemda DKI untuk mengenakan pajak atas usaha warteg, sepertinya sebagai upaya intensifikasi penerimaan pajak melalui penerimaan pajak daerah.
Sebelumnya, Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Arif Susilo menyatakan, bila pajak warteg diterapkan, potensi pendapatan pajak akan bertambah Rp 50 miliar dengan catatan ada sekitar 2 ribu warteg di Jakarta.
Faridz membandingkan antara potensi penerimaan pajak warteg dengan pajak online apabila diterapkan, yang masing-masing sebesar Rp 50 miliar dan Rp 3,380 triliun potensi kehilangan penerimaan. “Itu hanya 1,48 persen,” katanya.
Masih kata Faridz, dia bukannya tidak setuju atas UU No.28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah yang mengatakan, bagi usaha penyedia makanan dan minuman yang memiliki penghasilan Rp 60 juta per tahun atau sekitar Rp 5 juta per bulan atau sekitar Rp 167 ribu per hari, akan dikenakan pajak 10 persen bagi pengunjung rumah makan tersebut, termasuk warteg.
“Yang perlu dikaji terlebih dahulu adalah siapa konsumen warteg. Jangan bicara keadilan, bila kebijakan yang diambil justru menyengsarakan rakyat. Memang bukan pedagang yang akan membayar pajak tersebut, melainkan si pembeli. Kita tahu, konsumen warteg 95 persennya adalah rakyat kecil yang berpenghasilan rendah atau kalangan menengah ke bawah,” jelasnya.
Faridz mengingatkan, seharusnya pemprov menyadari, masih banyak potensi penerimaan yang sampai sekarang belum digali maksimal seperti pajak hotel, restoran dan hiburan. Penerimaan sektor inilah yang menurutnya harus diintensifkan. Bukan malah sebaliknya, urusan pajak warteg yang jelas tidak terlalu signifikan penerimaannya.
RAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 124/PJ/2010
TENTANG
PENYAMPAIAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 426/KMK.03/2010
DAN PEMINDAHAN PENGELOLAAN BERKAS PENGAWASAN ATAS
PEMASUKAN BARANG DARI TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN
KE KAWASAN BEBAS
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
NOMOR SE - 124/PJ/2010
TENTANG
PENYAMPAIAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 426/KMK.03/2010
DAN PEMINDAHAN PENGELOLAAN BERKAS PENGAWASAN ATAS
PEMASUKAN BARANG DARI TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN
KE KAWASAN BEBAS
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 426/KMK.03/2010 tanggal 2 November 2010 tentang Penugasan Kepada Pejabat/Pegawai Direktorat Jenderal Pajak Dalam Rangka Pengawasan atas Pemasukan Barang dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun, bersama ini disampaikan Salinan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) dimaksud, yang pada intinya mengatur hal sebagai berikut.
- Penunjukan Pejabat Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Batam untuk mengoordinasikan pelaksanaan tugas dalam rangka endorsement serta melakukan penatausahaan dan penyusunan laporan dalam rangka endorsement di lingkungan Kawasan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun sebagaimana diatur pada Diktum KETIGA.
- Pencabutan KMK Nomor 140/KMK.03/2009 tentang Penugasan Kepala Pejabat/Pegawai Direktorat Jenderal Pajak Dalam Rangka Pengawasan atas Pemasukan Barang dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas sebagaimana diatur pada Diktum KEENAM.
- KMK dimaksud ditetapkan pada tanggal 2 November 2010 dan mulai berlaku 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal ditetapkan sebagaimana diatur pada Diktum KETUJUH, yaitu tanggal 2 Desember 2010.
Berkenaan dengan pemindahan pelaksanaan endorsement dalam rangka pengawasan atas pemasukan barang dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas Batam, Bintan, dan karimun dari Pejabat Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi IV KPP Pratama Bintan ke Pejabat Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi pada KPP Madya Batam yang ditugaskan, perlu diatur tata cara pemindahan sebagai berikut.
- Pemindahan pelaksanaan endorsement adalah dari KPP Pratama Bintan (sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-39/PJ/2009) ke KPP Madya Batam.
- Pelaksanaan perekaman, pembuatan register harian penerimaan, pembuatan register harian perekaman, dan pembuatan laporan analisis arus keluar-masuk barang sehubungan pelaksanaan pengelolaan endorsement sampai dengan tanggal 01 Desember 2010 menjadi tanggung jawab KPP Pratama Bintan.
- Dalam hal terdapat pekerjaan pengelolaan endorsement yang belum selesai pada tanggal 01 Desember 2010, KPP Pratama Bintan mengumpulkan berkas dan dokumen-dokumen terkait dan membuat rekapitulasinya serta menyampaikan kepada KPP Madya Batam.
- Penyampaian berkas dan rekapitulasi pekerjaan endorsement yang belum selesai menggunakan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan Belum Selesai sebagaimana pada Lampiran I Surat Edaran ini.
- Penyampaian berkas pengawasan menggunakan Berita Acara Serah Terima Berkas Pengawasan Pelaksanaan Endorsement sebagaimana pada Lampiran 11 Surat Edaran ini.
- Berkas pengawasan sebagaimana dimaksud pada butir 5 adalah seluruh dokumen yang dihasilkan dan diadministrasikan berkenaan dengan pelaksanaan tugas endorsement,perekaman, pemberkasan, dan analisis dokumen pemberitahuan pabean di Kawasan Bebas berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.03/2009 dan perubahannya, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-39/PJ/2009.
- Saat penyampaian berkas dan rekapitulasi pekerjaan sebagaimana dimaksud pada butir 4 dan penyampaian berkas pengawasan sebagaimana dimaksud pada butir 5 adalah paling lambat tanggal 01 Desember 2010.
- Pelaksanaan perekaman, pembuatan register harian penerimaan, pembuatan register harian perekaman, dan pembuatan laporan analisis arus keluar-masuk barang sehubungan pelaksanaan pengelolaan endorsement mulai tanggal 02 Desember 2010 menjadi tanggung jawab KPP Madya Batam.
- Demi menjaga kesinambungan pelaksanaan tugas dan pelayanan yang prima kepada Wajib Pajak dalam masa peralihan pengelolaan endorsement ini, Kepala Kanwil DJP Riau dan Kepulauan Riau diminta untuk menugaskan Pejabat Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi IV KPP Pratama Bintan untuk melakukan pendampingan kepada Pejabat Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi KPP Madya Batam yang ditugaskan untuk melaksanakan pengelolaan endorsement sampai dengan batas waktu tertentu.
Demikian untuk untuk diketahui dan dilaksanakan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2010
Direktur Jenderal,
ttd.
Mochamad Tjiptardjo
NIP 195104281975121002
Wednesday, 8 December 2010
Masih seputar pajak warteg
INILAH.COM, Jakarta - Berdasarkan penelitian, setiap kenaikan harga barang terutama bahan makanan sebesar 10 persen akan menaikan tingkat kemiskinan sebesar 3,5 persen. Apabila warteg di Jakarta dikenakan pajak 10 persen maka tingkat kemiskinan di Jakarta akan meningkat.
Hal itu dikatakan anggota DPD asal DKI Jakarta, Djan Faridz kepada INILAH.COM, Rabu (8/12/2010).
Paraturan tersebut, lanjut dia, tentu akan ikut menaikan tingkat kemiskinan mengingat yang melakukan konsumsi atas warteg adalah rakyat kecil.
Pemrov DKI seharusnya menyadari masih banyak potensi penerimaan yang sampai saat ini belum digali secara maksimal seperti pajak hotel, restoran, hiburan bahkan pajak parkir.
"Penerimaan dari sektor inilah yang harus di intensifkan bukan malah sebaliknya urusan pajak warteg yang jelas tidak terlalu signifikan penerimaannya," tegas Djan.
Dia menambahkan, dalam pelaksanaannya, pembayaran pajak penerimaan daerah adalah bersifat sistem 'Self Assesment' di mana sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Artinya, sambung dia, jumlah pajak yang terutang menurut surat pemberitahuan yang disampaikan oleh wajib pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Jadi, jika wajib pajak telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar serta melaporkan dalam surat pemberitahuan maka tidak perlu diberikan Surat Ketetapan Pajak ataupun Surat Tagihan Pajak.
Mengacu pada sistem 'Self Assessment' maka seharusnya wajib pajak itu tidak akan diperiksa apabila yang bersangkutan melaksanakan perhitungan pajak secara benar dan menurut undang-undang.
Hal itu dikatakan anggota DPD asal DKI Jakarta, Djan Faridz kepada INILAH.COM, Rabu (8/12/2010).
Paraturan tersebut, lanjut dia, tentu akan ikut menaikan tingkat kemiskinan mengingat yang melakukan konsumsi atas warteg adalah rakyat kecil.
Pemrov DKI seharusnya menyadari masih banyak potensi penerimaan yang sampai saat ini belum digali secara maksimal seperti pajak hotel, restoran, hiburan bahkan pajak parkir.
"Penerimaan dari sektor inilah yang harus di intensifkan bukan malah sebaliknya urusan pajak warteg yang jelas tidak terlalu signifikan penerimaannya," tegas Djan.
Dia menambahkan, dalam pelaksanaannya, pembayaran pajak penerimaan daerah adalah bersifat sistem 'Self Assesment' di mana sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Artinya, sambung dia, jumlah pajak yang terutang menurut surat pemberitahuan yang disampaikan oleh wajib pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Jadi, jika wajib pajak telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar serta melaporkan dalam surat pemberitahuan maka tidak perlu diberikan Surat Ketetapan Pajak ataupun Surat Tagihan Pajak.
Mengacu pada sistem 'Self Assessment' maka seharusnya wajib pajak itu tidak akan diperiksa apabila yang bersangkutan melaksanakan perhitungan pajak secara benar dan menurut undang-undang.
Monday, 6 December 2010
Berita Pajak
BOGOR. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak berencana menghapus biaya fiskal perjalanan keluar negeri, mulai 1 Januari 2011. Kali ini, bebas biaya fiskal itu akan diberlakukan bagi seluruh wajib pajak (wp) pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) ataupun wp yang tak memiliki NPWP.
Padahal, kebijakan serupa telah diberlakukan sejak lama di negara-negara lain. "Malu juga mempertahankan fiskal luar negeri ini, sementara negara lain kan sudah tidak ada," ucap Direktur Transformasi Proses Bisnis Ditjen Pajak Robert Pakpahan, Sabtu (4/12).
Awalnya, tujuan Ditjen Pajak memberlakukan fiskal ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memiliki NPWP. Dan langkah tersebut telah berhasil meningkatkan jumlah pemegang NPWP. "Masyarakat akan berfikir, jika punya NPWP bisa dibebaskan fiskal," terangnya.
Robert tak khawatir langkah penghapusan fiskal ini akan berimbas pada penerimaan negara. Hal itu bisa ditingkatkan melalui perbedaan tarif. Sekedar informasi, selama ini, kebijakan unggulan yang telah berhasil meningkatkan wajib pajak ada tiga, yakni sunset policy, fiskal dan perbedaan tarif.
Dua kebijakan pertama sudah akan habis. Satu-satunya kebijakan yang masih bisa berjalan adalah memperlakukan perbedaan tarif. Ia mencontohkan, jika karyawan kalau tidak punya NPWP kan dipotong pph-nya lebih tinggi 20%.
Terlebih, lanjutnya, sumbangan fiskal luar negeri ini pun tidak begitu signifikan memberikan kontribusi. "Waktu diterapkan fiskal luar negerti telah berhasil mendapatkan Rp 1,5 triliun hingga Rp 3 triliun per tahun. Sumbangan ke pemerintah memang ada tapi tidak terlalu signifikan," tutur Robert.
Selain itu, kebijakan fiskal ini sebelumnya dimaksudkan untuk menghalangi orang kaya menghabiskan uangnya di luar negeri, disamping mengembangkan pariwisata dalam negeri. Namun, ungkap Robert, saat ini biaya fiskal luar negeri ini sudah tidak layak lagi diberlakukan. Pasalnya, "Keadaan sekarang sudah beda kalau dibandingkan waktu mulai diberlakukannya fiskal," terangnya.
Robert berharap, dengan dihapuskannya kebijakan fiskal luar negeri ini nantinya mampu menghilangkan potensi manipulasi nilai fiskal yang dilakukan antara aparat pajak dan masyarakat. "Kita harap insiden manipulasi, baik dari aparat kami maupun orang bisa mempermainkan fiskal tapi praktik ini akan hilang," tandasnya.
Sunday, 5 December 2010
Pro Kontra Pajak Warteg
Jakarta, Kompas - DPRD DKI Jakarta meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengkaji ulang rencana pengenaan pajak pada warung makan kecil. Pengenaan pajak itu akan menambah beban pengusaha kecil dan rakyat miskin.
Menurut anggota Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta, Selamat Nurdin, Kamis (2/12) di Jakarta Pusat, revisi Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah tidak diarahkan untuk membebani usaha mikro dan kecil, seperti warung Tegal, warung Padang, dan warung makan yang beromzet kecil. DPRD meminta Pemprov DKI tidak sembarangan memperluas pajak restoran ke warung-warung kecil karena akan membebani usaha informal.
Selain itu, DPRD juga meminta adanya kajian ulang mengenai besaran omzet yang menjadi dasar suatu warung dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPn). Penetapan omzet Rp 60 juta per tahun bagi warung agar dapat dikenai pajak dinilai terlalu rendah dan dapat memukul banyak warung kecil.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi mengatakan, pada 1 Januari 2011, semua warung makan beromzet di atas Rp 60 juta per tahun akan dikenai PPn 10 persen. Perluasan pajak restoran ini diterapkan untuk memenuhi asas keadilan dalam perdagangan makanan dan menambah pendapatan daerah.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Komisi XI DPR dan mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Harry Azhar Azis. Menurut Harry, hanya warung makan beromzet di atas Rp 300 juta yang dapat dikenai pajak restoran.
Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Muhammad Sanusi mengatakan, jika ingin memperbesar penerimaan, Pemprov DKI lebih baik mengintensifkan sistem pajak online dari restoran besar dan hotel. Selama ini, penerimaan dari pajak restoran dan hotel diduga banyak yang bocor karena Dinas Pelayanan Pajak belum berhasil menerapkan sistem online pada semua obyek pajak.
Jika pajak online dapat diintensifkan, penerimaan dari pajak restoran dapat bertambah 40 persen sampai 60 persen. Dalam semester pertama 2010, penerimaan DKI dari pajak restoran mencapai Rp 406.85 miliar.
Berdampak besar
Pengenaan pajak pada warung makan kecil akan berdampak besar terhadap perekonomian mikro dan kecil. Warung makan akan ditinggalkan pelanggannya dan masyarakat kelas bawah harus membayar lebih mahal untuk membeli makanan.
Sekretaris Fraksi PDI-P DPRD DKI Jhonny Simanjuntak mengatakan, jika warteg dan warung makan kecil lain ditinggalkan pelanggan karena dipajaki, belasan ribu orang akan menganggur. Selain itu, perdagangan bahan makanan di pasar tradisional juga akan tersendat karena tidak terserap oleh warung makanan kecil.
”Lebih baik membina warung kecil agar menjadi besar dan baru dikenai pajak. Di sisi lain, pengawasan pajak yang tidak jelas dapat membuat warteg menjadi sasaran pungli oleh oknum petugas pajak yang nakal,” kata Jhonny.
Sudaryatmo dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan, pola pengelolaan warung nasi, termasuk warteg, rata-rata masih tradisional. Penghitungan modal, omzet, dan keuntungan pun tidak pasti seperti pengelolaan restoran modern yang sudah komputerisasi. Hal ini bisa menjadi celah pemerasan dan korupsi pajak.
YLKI merekomendasikan menunda dulu pajak untuk warung nasi sebelum ada penataan, serta pembinaan yang tepat dari pemerintah bagi usaha kecil ini.
Putar otak
Keputusan Pemprov DKI Jakarta untuk memungut pajak pada warung nasi membuat pemilik merasa semakin sulit. Pemilik warung harus memutar otak agar harga tidak dinaikkan dan pelanggan tidak hengkang.
Rahma, pemilik warung nasi di Petojo, Gambir, mengatakan, kenaikan harga bahan makanan saat ini membuat pemilik warung nasi harus memutar otak agar tetap laku.
”Segala cara kami lakukan, seperti mengurangi porsi. Yang penting, harga tidak naik karena pembeli kami termasuk orang dengan pendapatan pas-pasan. Kalau dipajakin, bagaimana lagi strategi dagangnya,” kata Rahma.
wartegpun kena pajak
JAKARTA, KOMPAS.com - Atas nama pengelola warung tegal (warteg), Koperasi Warung Tegal (Kowarteg) menolak kebijakan baru Pemrov DKI yang akan memungut pajak 10 persen dari pengusaha warteg yang beromzet Rp 167.000 per hari.
Sekjen Kowarteg, Imam Sofyan menilai, kebijakan baru Pemrov DKI tersebut hanya memiskinkan masyarakat miskin. "Masyarakat yang sudah marjinal akan semakin termarjinalkan. Warteg menolak rencana pemerintah yang akan mengenakan pajak warteg dan warung-warung lain," kata Imam dalam sebuah diskusi yang digelar Petisi 28, Jakarta, Minggu (5/12/2010).
Dikatakan Imam, dilihat dari sejarahnya, warteg sejak awal memang identik dengan rakyat kecil. Sebagian besar pelanggan warteg adalah golongan masyarakat menengah ke bawah. Dengan demikian, lanjutnya, jika warteg dikenakan pajak, maka akan berimbas kepada konsumennya yang rata-rata rakyat kecil. "Ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar bahwa masyarakat miskin harus dlindungi negara," ujar Imam.
Tuesday, 19 October 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)