Sunday, 27 February 2011

SANKSI PBB

Friday, 25 February 2011

Skema Keberatan dan Banding

Skema Pembayaran Pajak


Thursday, 24 February 2011

Skema Pemeteraian Kemudian

Skema Pelunasan Bea Meterai

BEA METERAI (bukan BEA MATERAI)

PENGERTIAN
1. Bea Meterai adalah pajak atas dokumen
2. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan, atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak2 yang berkepentingan.
3. Benda Meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang di keluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
4. Tanda Tangan adalah tanda tangan sebagai mana lazimnya dipergunakan, termasuk pula paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan.
5. Pemeteraian Kemudian adalah suatu car apelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya.
6. Pejabat Pos adalah Pejabat PT. Pos dan Giro yang dserahi tugas melayani pemeteraian kemudian.

Dasar Hukum pengenaan Bea Meterai adalah Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 atau sering juga disebut Undang-undang Bea Meterai. Selain itu untuk mengatur pelaksanaannya, Telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang di kenakan Bea Meterai.

Sebab-sebab dikeluarkannnya UU No 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai
1. Agar lebih sempurna dan sederhana (Hanya terdiri dari 7 bab, 18 Pasal)
2. Lebih mudah dikenakan karena hanya mengenal 1 (satu) jenis Bea Meterai tetap, yaitu Rp. 6.000,00 dan Rp 3.000,00
3. Objek lebih luas.
Prinsip Umum Pemungutan atau Pengenaan Bea Meterai
1. Bea Meterai dikenakan atas dokumen (merupakan pajak atas dokumen)
2. Satu dokumen hanya terutang satu Bea Meterai.
3. Rangkap/tindasan (yang ikut ditandatangani) terutang Bea Meterai sama dengan aslinya.



Tarif Bea Meterai Rp. 6.000,00 Dikenakan Atas Dokumen:
1. Surat Perjanjian dan surat2 lainya (antara lain: surat kuasa, surat hibah, surat pernyataan) yang dibuat dengan tujuan digunakan sebagai alat pembuktian mengenai pernbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat peradata.
2. Akta-akta Notaris beserta salinannya.
3. Akta-akta PPAT termasuk rangkap2nya
4. Surat yang memuat jumlah yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
5. Surat2 Berharga seperti wesel, promes, dan askep yang harga nominalnya lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
6. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
7. Dokumen-dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan.

Tarif Bea Meterai RP. 3.000,00 Dikenakan Atas Dokumen:
1. Surat yang memuat jumlah uang yang mempunyai harga nominal lebigh dari Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidaklebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
2. Surat yang memuat jumlah yang mempunyai harga nominal Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
3. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang harga nominalnya Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
4. Cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun.

Monday, 21 February 2011

Industri Hiburan , Pemerintah Upayakan Pajak Film Nasional Nol Persen

Koran Jakarta, 21 Februari 2011
JAKARTA – Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata memastikan masalah pajak film asing dan film lokal akan selesai dan diputuskan pada akhir Maret mendatang. Diharapkan kondisi perfilman bisa kembali normal dan tidak ada lagi ancaman dari pihak importir film asing untuk tidak mendistribusikan filmnya di Indonesia. ”Kita sudah dapat solusi untuk film lokal dengan menurunkan pajaknya hingga menjadi nol persen. Walaupun itu masih dibahas, tapi kita optimistis itu bisa dicapai,” papar Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik di Jakarta, Minggu (20/2).

Menurutnya, untuk film asing hingga saat ini nilai pajaknya masih terus dikaji dan belum diperoleh berapa kisarannya. Seperti diberitakan, karena belum adanya kesepakatan mengenai nilai pajak untuk film asing, perusahaan pengekspor dari Amerika (Motion Picture Association of America/MPAA) menyatakan akan menghentikan seluruh pasokan film asingnya ke Indonesia. Hal itu karena mereka keberatan dengan rencana kenaikan pajak yang akan diberlakukan. Keputusan MPAA tersebut, menurut Jero, dianggap terlalu berlebihan karena sebenarnya itu akan merugikan pihak mereka.

Menurutnya, harus ditemukan jalan tengah dengan mempertemukan pihak pengimpor dengan pemerintah. Rencananya, pertemuan akan dilakukan pada Kamis (24/2) mendatang. Dengan adanya pertemuan bersama pihak pengimpor, Jero berharap nanti akan ada kesepakatan baru yang bisa menengahi dan tidak membuat rugi salah satu pihak. “Itu artinya, jika memang ada pilihan untuk membuat nilai pajak untuk fi lm asing lebih rasional, maka itu akan ditempuh. Apakah itu dengan menurunkan nilainya atau bahkan menaikkan, itu tinggal ada kesepakatan saja,” ucapnya.

Saat ini, Jero menjelaskan, pajak untuk film asing memang dinilai sangat tidak sebanding dengan pajak film nasional karena untuk satu film asing yang masuk ke Indonesia nilainya masih sangat rendah, sementara untuk film nasional itu nilainya sangat tinggi. Dia mencontohkan untuk satu film nasional yang berbiaya produksi 5 miliar rupiah, pajaknya ditetapkan sebesar 10 persen atau sebesar 500 juta rupiah. Kata Jero, untuk satu salinan film yang masuk ke Indonesia itu dikenai pajak 1 juta rupiah. Jadi, kalau ada 200 salinan film yang masuk, maka pajak yang harus dibayarkan oleh pengimpor maksimal hanya 200 juta rupiah.

”Bandingkan dengan film nasional yang harus membayar 500 juta rupiah. Itu sangat tidak adil,” ujar dia. Karena itu, Jero berharap dengan adanya kesepakatan baru tentang nilai pajak, perfilman Indonesia akan semakin baik lagi dan tidak bertambah terpuruk, termasuk jika pilihannya harus menurunkan pajak film asing. Kata dia, kalau pun memang pilihannya harus seperti itu, maka pemerintah akan tetap mengikutinya asalkan ada timbal balik yang setimpal. Timbal balik yang dimaksud, menurut Jero, adalah dengan memajukan dunia perfilman Indonesia.

Pilihanya bisa dengan membangun gedung bioskop baru di seluruh daerah dan atau mengembangkan perfilman secara langsung. ”Semua itu diharapkan bisa didapat kesimpulan dan keputusannya pada akhir Maret. Biar tidak ada polemik lagi seperti sekarang,” tegasnya. Sikap Tegas Sementara itu, praktisi film Indonesia, Deddy Mizwar, pada kesempatan yang sama, meminta pemerintah bersikap tegas dalam menyelesaikan masalah tersebut karena itu bukan hanya berkaitan dengan keberpihakan kepada film Indonesia saja, tapi juga menjaga martabat bangsa dari penilaian bangsa lain.

Deddy mencontohkan di Thailand biaya pajak untuk satu salinan film asing itu dikenakan 30 juta rupiah. Nilai tersebut berarti 30 kali lipat dari nilai pajak yang sama yang dikenakan di Indonesia. ”Itu artinya tidak adil. Kapan perfilman Indonesia akan maju kalau memang dari segi biaya pajak saja tidak berpihak dan justru memberatkan sineas film yang ada sekarang,” tandasnya.

Menurut Deddy, harus ada langkah jelas dari pemerintah dengan menyeimbangkan biaya pajak antara film asing dan film nasional. Dengan demikian, target pertumbuhan film nasional dalam beberapa tahun mendatang bisa tercapai tanpa harus mengeliminasi film asing terutama film Hollywood. “Pokoknya, mendatang, film yang diputar di bioskop 60 persen adalah film Indonesia dan sisanya film asing,” ungkapnya.

Saturday, 19 February 2011

Mafia Pajak , Satgas Mafia Hukum Belum Bisa Bongkar Harta Gayus

Koran Jakarta, 17 Februari 2011
JAKARTA – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan 42 transaksi keuangan mencurigakan milik pegawai Ditjen Pajak. Berdasarkan data yang dimiliki PPATK, transaksi keuangan tersebut dianggap tidak wajar. Pemeriksaan tersebut dilakukan atas permintaan langsung dari Dirjen Pajak. “Kami menemukan adanya transaksi mencurigakan di Dirjen Pajak. Ada sekitar 42 transaksi keuangan yang kami anggap tidak wajar,” papar Ketua PPATK Yunus Husein saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Rabu (16/2).

Hanya saja, Yunus mengatakan, pihaknya tidak berwenang membuka nama-nama orang yang memiliki rekening tersebut. “Kami tidak bisa spesifik soal itu. Itu kesulitan kami, kami tidak bisa menyebut orangnya,” terangnya. Namun, dia mengungkapkan, dari hasil temuan timnya, salah satu pegawai melakukan transaksi dengan nilai fantastis. “Dari penelusuran 3.000 rekening pegawai Ditjen Pajak yang kami lakukan, ada yang memiliki nilai transaksi 27 miliar rupiah,” papar Yunus. Rata-rata pegawai pajak melakukan transaksi keuangan dalam jumlah besar yakni berkisar dari 500 juta rupiah hingga 7 miliar rupiah.

Menurutnya, dari penelusuran, pihaknya menemukan modus para pegawai pajak tersebut dengan melakukan transaksi melalui orang-orang terdekat mereka. “Ada yang melalui anak-istri mereka dengan membeli unit link, reksa dana, biasanya unit link,” paparnya. Meski enggan mengungkap nama-nama para pemilik rekening mencurigakan tersebut, Yunus mengatakan, mereaka berasal dari kalangan bervariasi. “Dari eselon tiga ada, seperti Gayus ada, dari direktur juga ada,” paparnya.

Wakil Ketua Komisi III Azis Syamsudin meminta PPATK berkoordinasi dengan aparat penegak hukum guna menyelidiki rekening mencurigakan tersebut. “Kami minta PPATK implementasikan UU Nomor 8 Tahun 2010 dan berkoordinasi dengan Kejaksaan dan Kepolisian. Selain itu, PPATK harus mengoptimalkan dan menganalisis semua transaksi yang mencurigakan agar segera difollow- up tanpa terkecuali,” papar Azis. Harta Gayus Di tempat terpisah, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH) mengakui pihaknya hingga saat ini belum bisa mengetahui pasti jumlah harta kekayaan Gayus.

“Berkaitan dengan jumlah uang memang belum diketahui sampai sekarang persisnya berapa. Yang sudah diketahui uang yang ada di safe deposit box yang sudah dibuka. Yang lain saya yakin masih ada dan sedang dilacak PPATK,” kata Ketua Satgas PMH Kuntoro Mangkusubroto di kantor Satgas di Jakarta, Rabu. Kuntoro mengatakan dana yang dimiliki oleh Gayus diperkirakan lebih dari 74 miliar rupiah yang telah disita oleh pihak kepolisian. “Bisa lebih dari 74 miliar rupiah, pasti lebih.

Masih berproses tidak bisa dijelaskan eksplisit,” lanjut Kuntoro. Kuntoro mengatakan jajaran PPATK sudah meminta counterpart PPATK di Singapura, Amerika Serikat, Malaysia, dan Makau. Namun counterpart PPATK tersebut menyatakan bahwa data yang diminta PPATK tidak ada dalam basis data mereka. Mereka kemudian meminta agar PPATK mengirimkan spesifik pelacakan rekening yang diinginkan. “Jadi masih proses, misalnya jumlah uang, denominasi, dan nomor serial,” kata Kuntoro.

Meski dana Gayus masih gelap, Kuntoro mengatakan keterbukaan di Kementerian Keuangan terbilang sudah cukup bagus, yaitu membuka data pajak 151 perusahaan yang ditangani Gayus kepada kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kuntoro mengatakan sebulan setelah inpres terbit, pihaknya telah menyampaikan dua kali laporan pelaksanaan inpres kepada Presiden Yudhoyono.

Diketahui, pelaksanaan inpres ini dilakukan di bawah koordinasi Wapres Boediono di bawah pengawasan Satgas PMH. Sementara itu, anggota Satgas Mas Ahmad Santosa mengatakan data 151 wajib pajak sedang dikaji dan dianali sis oleh kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Sekarang sedang berjalan,” kata Mas Ahmad yang akrab dipanggil Ota.

Friday, 11 February 2011

Basis Penerimaan Perpajakan Diperluas

Koran Jakarta, 11 Februari 2011
JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak akan menggenjot semua sektor guna memenuhi target penerimaan pajak yang telah dianggarkan dalam Anggaran Belanja dan Penerimaan Negara (APBN) 2011 sebesar 839,5 triliun rupiah. “Semuanya, artinya kita akan mempelajari potensi pajak, yaitu pajak yang belum tergali, baik ektensifi kasi maupun intensifikasi,” kata Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany di Jakarta, Kamis (10/2).

Dalam APBN 2011, Ditjen Pajak diharapkan bisa menghimpun Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 420,49 triliun rupiah, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 312,11 triliun rupiah, penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebanyak 27,68 triliun rupiah, serta bea materai dan lain-lainya sebesar 4,2 trliun rupiah. Dari potensi yang ada tersebut, pihaknya akan lebih fokus menggenjot pajak melalui ektensifikasi atau memperluas basis penerimaan.

Dia mengakui saat ini masih banyak wajib pajak (WP) yang belum membayar pajak secara penuh sehingga harus ada pengajian dan pendalaman yang lebih efektif agar WP sadar pajak dan membayarnya sesuai dengan kewajiban seharusnya. “Sekarang itu penerimaan kita yang ratusan triliun itu sebetulnya baru berapa persen dari potensi WP, jadi kita meningkatkan kapasitas kita di sumber daya manusia (SDM) ini,” katanya.

WP besar, paparnya, masih banyak yang belum sadar membayar pajak sehingga perlu kejelian jajarannya mencari maupun mengidentifikasi transaksi yang terkena pajak sehingga bisa teridentifi kasi dengan baik. “Itu semua yang kita bangun dan tidak ada hubungannya dengan kasus, tapi kapasitas yang selama ini sudah dibangun jadi kita tingkatkan saja,” jelasnya.

Ia optimistis tax ratio yang ditargetkan sebesar 12,1 persen dalam APBN ini bisa meningkat dengan sendirinya melalui hasil kerja keras yang dilakukan Ditjen Pajak di bawah kepemimpinannya. “Saya tidak mau targetkan karena di APBN kan 12,1 persen, saya lebih targetkan nominal saya kira bisa melebihi target. Berapa lebihnya tidak usah ditanya,” katanya. Kinerja Direktorat Jenderal Pajak, tambahnya, terus di benahi melalui pelatihan sehingga penerimaan lebih maksimal.

Selain itu, dia berjanji akan membenahi sistem penerimaan sehingga kasus perpajakan seperti yang hangat akhir-akhir ini, misalnya mafi a pajak Gayus Tambunan, tidak terulang lagi. Terealisasi Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengharapkan di bawah kepemimpinan Fuad Rachmany penerimaan pajak bisa terealisasi dengan baik.

Pasalnya, pada tahun 2010 realisasi penerimaan pajak hanya mencapai 661,4 triliun rupiah atau 98,1 persen dari target dalam APBN-P 2010 sebesar 649,042 triliun rupiah. Tidak terpenuhinya target itu karena besarnya pengembalian penerimaan perpajakan (restitusi) yang mencapai 40 triliun rupiah.

Wednesday, 9 February 2011

Wewenang Komisi Pengawas Pajak Dipangkas

Harian Kompas, 9 Februari 2011
Jakarta, Kompas - Kementerian Keuangan dan Komisi XI DPR sepakat bahwa kewenangan Komisi Pengawas Perpajakan hanyalah sebagai pemberi informasi tentang penyelundupan atau penyelewengan aparat. Sementara kewenangan untuk menindaklanjuti informasi itu harus diserahkan kepada unit operasional di Kementerian Keuangan.
”Saya menyambut baik kesepakatan bahwa Komite Pengawas Perpajakan (KPP) diperbolehkan menyampaikan informasi (tentang penyelundupan) dan selanjutnya hanya unit pelaksana yang akan melanjutkan penindakannya,” ujar Ketua Komisi XI DPR Emir Moeis di Jakarta, Selasa (8/2), saat memimpin rapat kerja dengan Menteri Keuangan Agus Martowardojo.
Menurut Menteri Keuangan, KPP akan diminta untuk menyampaikan setiap informasi yang mereka miliki jika terjadi penyimpangan dalam proses pelayanan di dua unit penghimpun penerimaan negara terbesar, yakni Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai.
Informasi itu selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh Ditjen Pajak ataupun Ditjen Bea dan Cukai.
”Yang terpenting, upaya untuk menekan penyelundupan harus terus dilakukan,” ujar Agus.
Selain itu, konsep perpajakan juga sudah mengacu pada seluruh penerimaan negara yang dihimpun, baik oleh Ditjen Pajak maupun Ditjen Bea dan Cukai, antara lain Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR sebelumnya, Agus menolak keinginan beberapa anggota Komisi XI DPR untuk mencabut peraturan yang memberikan kewenangan kepada KPP mengawasi kinerja Ditjen Bea dan Cukai. Intervensi KPP dalam pemeriksaan transaksi ekspor dan impor ilegal di pelabuhan sangat diperlukan untuk memberantas penyelundupan.
Aturan yang dipertahankan oleh Menteri Keuangan adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 133 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Komite Pengawas Perpajakan.
PMK ini memberikan kewenangan kepada KPP untuk mengawasi Ditjen Bea dan Cukai secara langsung, serta bukan hanya Ditjen Pajak.

Monday, 7 February 2011

Gayus Ungkap Praktik Mafia Pajak

Koran Jakarta, 5 Februari 2011
JAKARTA – Terpidana kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan membuka bagaimana modus para mafia bermain di Kantor Direktorat Jenderal Pajak. Usai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Gayus menyebut bekas kantornya itu tak ubahnya seperti Zaman Jahiliyah. Gayus juga membeberkan siapa saja oknum yang bermain dalam mafia pajak itu ke penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Intinya tadi ditanyain KPK, saya sudah jawab tentang bagaimana modus-modus di pajak, kira-kira siapa petugas pajak, perannya apa, tentang keberatan (pajak), tentang banding.

Pokoknya yang saya ketahui tentang pajak, kelas teri, kelas kakap, paus semuanya ceritakan,” kata Gayus, sesuai pemeriksaan di KPK, Jumat (4/2). Gayus diperiksa sejak pagi hari pukul 10.00 WIB, dan sekitar pukul 16.00 WIB terpidana kasus mafia pajak ini keluar dari Gedung KPK. Dalam pemeriksaan itu, Gayus yang juga telah dipidana tujuh tahun dalam perkara mafia pajak ini, masih ditanyai seputar pekerjaannya di Direktorat Jenderal Pajak. Ketika ditanya pada zaman kepemimpinan siapa dia melakukan modus-modus perpajakan itu, Gayus tidak mau menyebutkan secara spesifik.

Ia hanya mengatakan kasus penyelewengan pajak itu sudah lumrah terjadi pada 2007 ke bawah, yang dilakukannya bersama teman-temannya. “Kantor Pajak ini setahu saya dan teman-teman, pada 2007 ke bawah semuanya zaman jahiliyah,” kata Gayus sambil berjalan menuju mobil tahanan. Sejak 2001 hingga 2011, Direk torat Jenderal Pajak mengalami empat kali pergantian pim pinan. Pada 2001-2006, Direk torat Jenderal Pajak dipimpin Hadi Purnomo, masa 2006-2009 dipimpin Darmin Na sution, 2009-2011 dipimpin Mu hammad Tjiptardjo, dan 2011-hingga saat ini dipimpin Fuad Rahmany.

Gayus berharap setelah diceritakan semuanya kepada KPK, lembaga yang dipimpin oleh Busryo Muqoddas ini berani menindaklanjuti secara tuntas tanpa tebang pilih. “Tinggal KPK aja mau nggak menindaklanjuti ini,” ungkap Gayus yang kemudian dibawa kembali ke Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur, dengan mobil tahanan KPK, kijang hitam B 8638 WU. Terkesan Lambat Sementara itu, Menteri Ko ordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Djoko Suyanto mengatakan lembaga terkait seperti Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengalami beberapa kendala teknis dalam merealisasikan secara optimal Instruksi Presiden (Inpres) No 1 Tahun 2011 tentang Percepatan Penyelesaian Kasus Hukum Penyimpangan Pajak.

Kendala itu di antaranya adalah kesulitan untuk melakukan pembuktian. “Membuat suatu proses pembuktian itu kan tidak mudah. Ini yang disampaikan oleh Kapolri Jenderal Timur Pradopo. Jadi Kapolri ingin semua alat bukti itu lengkap. Itu yang disampaikan kepada Presiden setelah mendengar penjelasan Kapolri. Pemerintah membutuhkan wak tu tidak singkat,” tegas Djoko Suyanto seusai bertemu Presiden Presiden di Kantor Ke presidenan, Jakarta, Jumat. Kendala-kendala dalam menemukan alat bukti itu menyebabkan pengembangan kasus mafia pajak dan hukum yang melibatkan Gayus Tambunan seolah berjalan di tempat.

Jajaran kepolisian, menurut Djoko, sangat berhati-hati dalam pengumpulan alat bukti serta keterangan yang mendukung untuk menjerat Gayus. “Itu yang mungkin dikesankan lambat,” kata Djoko. Sebagaimana diketahui, selain terjerat kasus penggelapan pajak, Gayus juga bakal dijerat dengan kasus pemalsuan paspor serta kasus keluarnya dari tahanan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Sementara itu, Jaksa Agung Basrief Arief mengatakan sedang membantu pihak kepolisian untuk melakukan penyidikan kasus jaksa Cirus Sinaga. Jaksa Cirus diduga melakukan pemalsuan rencana tuntutan (rentut) Gayus. “Hari ini tiga orang jaksa kita ajukan ke kepolisian untuk sebagai saksi kasus Cirus,” kata Basrief.

Sunday, 6 February 2011

Gayus Ungkap Praktik Mafia Pajak

Koran Jakarta, 5 Februari 2011
JAKARTA – Terpidana kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan membuka bagaimana modus para mafia bermain di Kantor Direktorat Jenderal Pajak. Usai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Gayus menyebut bekas kantornya itu tak ubahnya seperti Zaman Jahiliyah. Gayus juga membeberkan siapa saja oknum yang bermain dalam mafia pajak itu ke penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Intinya tadi ditanyain KPK, saya sudah jawab tentang bagaimana modus-modus di pajak, kira-kira siapa petugas pajak, perannya apa, tentang keberatan (pajak), tentang banding.

Pokoknya yang saya ketahui tentang pajak, kelas teri, kelas kakap, paus semuanya ceritakan,” kata Gayus, sesuai pemeriksaan di KPK, Jumat (4/2). Gayus diperiksa sejak pagi hari pukul 10.00 WIB, dan sekitar pukul 16.00 WIB terpidana kasus mafia pajak ini keluar dari Gedung KPK. Dalam pemeriksaan itu, Gayus yang juga telah dipidana tujuh tahun dalam perkara mafia pajak ini, masih ditanyai seputar pekerjaannya di Direktorat Jenderal Pajak. Ketika ditanya pada zaman kepemimpinan siapa dia melakukan modus-modus perpajakan itu, Gayus tidak mau menyebutkan secara spesifik.

Ia hanya mengatakan kasus penyelewengan pajak itu sudah lumrah terjadi pada 2007 ke bawah, yang dilakukannya bersama teman-temannya. “Kantor Pajak ini setahu saya dan teman-teman, pada 2007 ke bawah semuanya zaman jahiliyah,” kata Gayus sambil berjalan menuju mobil tahanan. Sejak 2001 hingga 2011, Direk torat Jenderal Pajak mengalami empat kali pergantian pim pinan. Pada 2001-2006, Direk torat Jenderal Pajak dipimpin Hadi Purnomo, masa 2006-2009 dipimpin Darmin Na sution, 2009-2011 dipimpin Mu hammad Tjiptardjo, dan 2011-hingga saat ini dipimpin Fuad Rahmany.

Gayus berharap setelah diceritakan semuanya kepada KPK, lembaga yang dipimpin oleh Busryo Muqoddas ini berani menindaklanjuti secara tuntas tanpa tebang pilih. “Tinggal KPK aja mau nggak menindaklanjuti ini,” ungkap Gayus yang kemudian dibawa kembali ke Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur, dengan mobil tahanan KPK, kijang hitam B 8638 WU. Terkesan Lambat Sementara itu, Menteri Ko ordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Djoko Suyanto mengatakan lembaga terkait seperti Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengalami beberapa kendala teknis dalam merealisasikan secara optimal Instruksi Presiden (Inpres) No 1 Tahun 2011 tentang Percepatan Penyelesaian Kasus Hukum Penyimpangan Pajak.

Kendala itu di antaranya adalah kesulitan untuk melakukan pembuktian. “Membuat suatu proses pembuktian itu kan tidak mudah. Ini yang disampaikan oleh Kapolri Jenderal Timur Pradopo. Jadi Kapolri ingin semua alat bukti itu lengkap. Itu yang disampaikan kepada Presiden setelah mendengar penjelasan Kapolri. Pemerintah membutuhkan wak tu tidak singkat,” tegas Djoko Suyanto seusai bertemu Presiden Presiden di Kantor Ke presidenan, Jakarta, Jumat. Kendala-kendala dalam menemukan alat bukti itu menyebabkan pengembangan kasus mafia pajak dan hukum yang melibatkan Gayus Tambunan seolah berjalan di tempat.

Jajaran kepolisian, menurut Djoko, sangat berhati-hati dalam pengumpulan alat bukti serta keterangan yang mendukung untuk menjerat Gayus. “Itu yang mungkin dikesankan lambat,” kata Djoko. Sebagaimana diketahui, selain terjerat kasus penggelapan pajak, Gayus juga bakal dijerat dengan kasus pemalsuan paspor serta kasus keluarnya dari tahanan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Sementara itu, Jaksa Agung Basrief Arief mengatakan sedang membantu pihak kepolisian untuk melakukan penyidikan kasus jaksa Cirus Sinaga. Jaksa Cirus diduga melakukan pemalsuan rencana tuntutan (rentut) Gayus. “Hari ini tiga orang jaksa kita ajukan ke kepolisian untuk sebagai saksi kasus Cirus,” kata Basrief.

Friday, 4 February 2011

Sanksi bagi Pegawai Pajak

Harian Kompas, 4 Februari 2011
Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo menerbitkan aturan baru yang menegaskan sanksi bagi pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang menyalahi aturan sebagai bentuk perlindungan untuk wajib pajak. Aparat pajak tidak hanya diancam sanksi kepegawaian, tetapi juga oleh sanksi pidana umum dan tindak pidana korupsi. ”Dengan adanya aturan tersebut, tidak berarti pemerintah akan main tangkap (aparat pajak). Anggapan itu membuat aparat pajak menjadi takut. Tentu tidak begitu. Ini kan hanya pengungkapan dan penegasan kembali Pasal 36 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP),” ujar Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany di Jakarta, Rabu (2/2). Aturan tersebut adalah Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 10/KMK.03/2011 tanggal 11 Januari 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Penanganan Pengenaan Sanksi Sesuai Peraturan Pasal 36A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP sebagaimana diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.